Revolusi Mental Berbasis Pancasila Melalui Keluarga


Oleh: Dr Surya Chandra Surapaty, MPH, Ph.D
(Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)

Rata-rata masyarakat Indonesia bermental buruk. Setidaknya mereka mempunyai 12 sifat buruk antara lain; Munafik (hipokrit), enggan bertanggung jawab, berjiwa feudal, masih percaya takhayul, artistik, watak yang lemah, boros, lebih suka tidak bekerja keras, tukang menggerutu, cepat cemburu & dengki, sok, tukang tiru/plagiat (Mochtar Lubis: 1977). Perubahan mental rakyat Indonesia ini mutlak diperlukan. Demi membangun peradaban bangsa yang unggul. Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter. Kalau tidak dilakukan, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”.
Untuk menghadapi bonus demografi dan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), Indonesia memerlukan manusia berkualitas yang kompeten dan berkarakter. Dalam membentuk karakter, perlu “Revolusi Mental” menurut definisi Bung Karno. Menurut beliau, revolusi mental adalah adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala. Hematnya gerakan ini mempunyai dua tujuan; a. menanamkan rasa percaya diri pada kemampuan sendiri; b. menanamkan optimisme dan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan bermasyarakat dan bernegara.
Riilnya, secara garis besar nilai-nilai revolusi mental yang perlu dimasyaratkan secara masif ada tiga; a. integritas (jujur, dapat dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab, dan konsisten); b. etos kerja (etos kerja, daya saing, optimism, inovatif, dan produktif); c. gotong-royong (kerja sama, solidaritas, tolong menolong, peka, komunal, dan berorientasi pada kemaslahatan) (Kemenko PMK: 2015).
Revolusi mental juga membangun tiga komunikasi yang terintegrasi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pertama, komunikasi transedental (hubungan vertikal) yang harus terhubung kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini sejalan dengan sila pertama. Kedua, komunikasi intrapersonal yang harus mampu mengenal karakter pribadi serta mengendalikannya sesuai nilai kemanusiaan. Ini sesuai sila kedua. Ketiga, Komunikasi interpersonal (hubungan horizontal) yang mudahnya dalam bahasa al-Quran adalah memperkuat hablun min al-Nâs. Ini pun sejalan dengan sial ketiga. Ketika ketiga komunikasi ini terbentuk maka akan karakter akan terbangun yang output-nya sejalan dengan sila keempat dan kelima.
Efektifnya membangun karakter dan mental dimulai dari unit terkecil yaitu keluarga. Sebagaimana pernyataan Presiden Ketujuh, Ir. Joko Widodo “… dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara” [AFR]

Disadur dari pemaparan dialog kebangsaan dengan Ketua BKKBN di Pesantren Alhikam Depok, 6 Agustus 2017.