Indonesia dan Malaysia Berpotensi Jadi Kiblat Dunia Islam

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, KH.Hasyim Muzadi, menghadiri World Islamic Economic Forum di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa, 3 November 2015. Forum itu diikuti para pemimpin pemerintahan dan tokoh agama dari 32 negara.
Kiai Hasyim bertemu dan berdiskusi dengan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, dan mantan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi. Mereka membicarakan masa depan dunia Islam, tak hanya pada aspek keagamaan, tetapi juga di bidang ekonomi, hukum, politik, kebudayaan, teknologi, upaya mewujudkan perdamaian dunia, dan lain-lain.
Kiai Hasyim, Najib Razak maupun Abdullah Badawi menyadari betapa besar potensi Indonesia dan Malaysia sebagai negara dengan mayoritas muslim. Indonesia bahkan negara muslim terbesar di dunia. Kalau semua potensi itu dikembangkan hingga maksimal, menurut Hasyim yang diamini Najib Razak dan Abdullah Badawi, bukan mustahil Indonesia dan Malaysia akan menjadi kiblat bagi peradaban Islam di masa mendatang.
Dia berargumentasi, sedikitnya lima alasan pokok bahwa Indonesia dan Malaysia bakal menjadi kiblat dunia Islam, bahkan kiblat peradaban dunia. Pertama, negara-negara di Timur Tengah sedang kacau karena sebagian besar mereka menghadapi perang saudara. “Timur Tengah sulit diharapkan,” kata Hasyim melalui keterangan tertulisnya yang diterima VIVA.co.id, Selasa, 3 November 2015.
Alasan kedua, tak banyak potensi radikalisme atau ekstremisme di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Dia mencontohkan potensi konflik akibat radikalisme Syiah. Tetapi, “Asia Tenggara tidak besar Syiah-nya.”
Ketiga, muslim di Indonesia dan Malaysia berkarakter moderat alias tidak ekstrem fundamentalisme maupun ekstrem liberalisme. Watak dasar muslim kedua negara itu dipandang kondusif bagi pembangunan peradaban Islam yang ramah dan menjunjung tinggi perdamaian.
Keempat, Indonesia maupun Malaysia tidak bermusuhan dengan negara-negara Barat. Kedua negara pun berperan aktif dalam upaya perdamaian dunia.
Kelima, Indonesia dan Malaysia dinilai berhasil memberantas terorisme. Kedua negara memang memiliki pendekatan berbeda dalam memerangi terorisme. Indonesia dilakukan melalui pendekatan represif sekaligus pembinaan masyarakat melalui program deradikalisasi. Sedangkan Malaysia lebih cenderung menggunakan pendekatan pencegahan, misalnya, memperketat undang-undang antiterorisme.
Kiai Hasyim menghargai hukum di Malaysia, yang tidak memusuhi Syiah tetapi tidak memperkenankan paham itu berkembang di negeri Jiran. “Karena kalau Sunni-Syiah sama sama besar, akan terjadi konflik ideologi,” kata mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama itu.