Toleransi Sebagai Perawat Kemajemukan

Artikel

Oleh : Hudzaifah Muhammad
Mahasantri STKQ Al-Hikam Depok

Sumber Foto : crcs.ugm.ac.id

Sebagaimana negara demokrasi lainnya, Indonesia sangat menjunjung tinggi toleransi dalam ragam perbedaan yang ada di Indonesia baik dari segi suku, agama, ras dan antar golongan serta adat istiadat dari masyarakat yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lamanya. Hari toleransi sedunia pertama kali ditetapkan oleh PBB pada tahun 1995 yang bertepatan dengan ulang tahun PBB ke 50 sekaligus memperingati atas 125 tahunnya Mahatma Gandhi, pejuang pembela HAM berkebangsaan India.     

Mengapa Hari Toleransi harus diperingati? Karena toleransi adalah identitas dan eksistensi yang harus dimiliki oleh setiap jiwa manusia. Dengan memperingati Hari Toleransi, juga sekaligus kita bisa sadar bahwa umat manusia harus menghindari dan mencegah sikap-sikap intoleran, terutama dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul antara dua belah pihak yang berseteru. Mengingat sampai saat ini tercacat kasus intoleran di Indonesia berjumlah 151 kali dalam kurun waktu setahun. 76 di antaranya adalah kasus intoleran yang berkaitan dengan kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Sisanya adalah konflik di antara suku dan kecemburuan sosial masyarakat. Yang perlu digaris bawahi disini adalah sejak kapan kita membuang ideologi negara ini, ideologi yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan rakyatnya ?

Sudah seharusnya kita sadar, sebagai umat Islam, kita harus membela dan mencegah terjadinya kasus intoleran. Agama Islam  mengajarkan dan mengharuskan sikap toleransi antar sesama muslim bahkan terhadap non-muslim. Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw. ketika pasca memenangi Perang Badar, kaum muslimin dilarang menyakiti kaum kafir Quraish yang ada di dalam rumah-rumah mereka. Bahkan Rasulullah saw. menjamin nyawa kaum Quraish agar terlindungi dari marabahaya sekitarnya. Begitu pula ketika Sultan Muhammad al-Fatih berhasil menguasai konstantinopel, orang-orang Kristen di sana diizinkan untuk bebas memilih dan menjalankan agama tanpa adanya paksaan.

Dari beberapa contoh kisah di atas, kita mengetahui bahwa toleransi sudah ada dan diterapkan oleh Umat Islam sejak dahulu. Maka, sudah seyogyanya perbedaan agama yang ada dalam suatu wilayah tidak menjadi halangan bagi kita untuk menjalankan ibadah sesuai agama yang kita anut. Namun, agaknya akhir-akhir ini seringkali beberapa aksi tindakan intoleran dengan mengatasnamakan Islam marak terjadi di mana-mana. Isu bahwa Islam itu radikal dan ekstrem digaungkan oleh pihak-pihak yang bersebrangan dan bahkan tidak suka. Berbagai macam tuduhan dilimpahkan untuk mengecap Islam sebagai teroris dan biang keladi dari banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia, khususnya terkait pengeboman. Padahal sudah jelas tidak nyata dan tidak adanya bukti yang kuat dan kredibel.

Islam sangat menjunjung tinggi nilai persatuan serta perdamaian. Salah satu tokoh kharismatik dan humanis, yaitu al-Maghfurlah KH. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa “Islam dan toleransi itu ibarat meja dan taplak meja”. Tokoh Nasionalis yang juga sebagai Mantan Ketua Umum PBNU itu menjelaskan bahwa Meja sebagai agama dan toleransi sebagai taplaknya. Di atas meja biasanya diletakkan sebuah taplak penutup meja. Fungsi taplak selain sebagai penghias, juga berfungsi untuk melindungi meja dari berbagai kotoran. Taplak itu bisa diibaratkan sebagai toleransi, sedangkan meja itu ibarat agama atau keyakinan. Toleransi bukan merupakan hanya soal amaliyah agama, tapi juga melindungi hubungan antar umat beragama. “Taplak meja mudah dilipat dan dibawa ke mana-mana, tapi meja tidak perlu dilipat dan dibawa ke mana-mana”. Pungkas beliau menutup penjelasannya.

Di Indonesia yang sarat dengan kemajemukan ini, sudah sepatutnya kita bangga, menjaga serta merawat kemajemukan yang kita miliki, jangan biarkan karena hal-hal yang terjadi bahkan masalah sepele, Indonesia terluka dan terpecah belah. Karena sebab adanya kemajemukan yang ada, Indonesia bisa merebut kemerdekaan dan bisa melawan para penjajah yang ingin menguasai Indonesia dengan serakah. Kita harus ingat bahwa kemajemukan ini adalah rahmat dari Sang Pencipta. Banyak kenikmatan-kenikmatan-Nya yang dilimpahkan kepada Indonesia karena adanya kemajemukan yang terjaga dan utuh sampai saat ini. Kita harus bertekad menjaga dan merawat Indonesia dengan kemajemukan yang ada dengan menjunjung tinggi dan menerapkan sikap toleransi kita terhadap sesama, siapapun dia dan apapun latar belakangnya, kita tetap satu jiwa dan raga yaitu Indonesia.

Editor : Safarul Hidayat