Deretan kisah panjang nan kelam telah dilewati. Terlalu banyak nyawa yang berkorban, darah bersimbah dimana-mana, dan secercah jiwa yang percaya bahwa suatu saat nanti negeri ini akan merdeka. Bukan waktu yang sebentar hingga penantian itu membuahkan hasil. Akhirnya, 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta mewakili bangsa Indonesia menyatakan merdeka dan melepaskan diri dari penjajahan sekaligus membentuk negara yang mandiri dan berdaulat.
Indonesia telah melewati berbagai pergolakan dalam negeri sampai tak sadar 77 tahun sudah momen kemerdekaan itu terlewati. Bendera merah putih bertebaran di setiap rumah-rumah, mengisi lorong-lorong kecil, berkibar dengan bangga di seluruh negeri. Tidak bisa tidak, sudah sepatutnya kita bangga dengan para pahlawan kita yang mendedikasikan dirinya untuk tujuan nasional. Pahlawan kala itu sudah berhasil mencetak sejarah bagi tanah air tercintanya. Namun, apa yang sudah kita lakukan untuk meneruskan semangat kemerdekaan itu? Akankah para pahlawan tidak kecewa jika bangun dari tidurnya yang panjang dan melihat kondisi negeri yang mereka bangun dengan darah? Akankah perjuangan mereka tak sia-sia?
Indonesia, negara kepulauan yang memiliki tekad besar membangun sebuah kesatuan demokratis, tentu menghadapi berbagai macam polemik kebangsaan. Polemik tersebut muncul dari berbagai sektor, mulai dari ekonomi nasional, politik pemerintahan, sistem pendidikan, permasalahan hukum, hingga konflik-konflik sosial. Hal-hal demikian merambah hampir di seluruh negeri dan diperparah sejak munculnya pandemi Covid-19. Di Indonesia, Covid-19 telah masuk sejak akhir Januari 2020 (Kumparan.com, 2020). Hal tersebut didukung oleh data Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Kementerian Kesehatan bahwa pada layanan kesehatan terdapat kenaikan orang dengan gejala kasus Covid-19 seperti batuk, demam, dan sesak nafas.
Menurut WHO (2020) (dalam Susilo dkk., 2020) virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia melalui tetesan kecil (droplet) dari hidung atau mulut pada saat batuk atau bersin. Virus ini menyebar secara luas di China dan lebih dari 190 negara dan teritori lainnya. Hingga tanggal 10 Agustus 2022, terdapat 6.261.605 dengan kasus positif dan 157.149 jumlah kematian di Indonesia (News.google.com, 2022).
Fakta-fakta bahwa pandemi Covid-19 membawa perubahan sosial bagi masyarakat Indonesia dapat dirangkum dari serangkaian berita nasional yang mencuat sepanjang tahun 2020 hingga 2022 ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19) (Kemendikbud, 2020). Pemerintah juga menerapkan berbagai upaya pembatasan sosial semenjak awal pandemi, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), new normal, Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), PSBB transisi, hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berlevel (Kompas.com, 2021).
Dampak yang cukup signifikan juga mempengaruhi kelangsungan kehidupan masyarakat, aktivitas perekonomian terganggu, pekerjaan harian menjadi tidak bisa dilakukan, dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh sejumlah perusahaan dalam situasi pandemi. Dampak Covid-19 kepada perekonomian secara empiris dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya keluarga dari kelompok menengah ke bawah merasakan dampak yang jauh lebih besar. Hal demikian menjadi persoalan yang pelik karena sebagian besarnya merupakan para pekerja sektor informal yang banyak menggantungkan hidup kepada mata pencaharian harian (Herdiana, 2020).
Berbagai macam upaya telah dilakukan. Tapi tidak bisa dipungkiri, problematika yang terjadi seolah mengambil kesempatan di tengah hiruk pikuk pandemi Covid-19 oleh oknum tak bertanggung jawab. Kasus penimbunan masker, penyelewengan dana bantuan sosial Covid-19, angka kriminalitas yang meningkat, praktik jual beli sertifikat vaksin ilegal, hingga sesederhana hilangnya kepedulian masyarakat untuk memakai masker saat keluar rumah. Fakta-fakta ironis tersebut mengingatkan penulis pada suatu kutipan menarik yang pernah terucap oleh Presiden Republik Indonesia pertama, yakni Ir. Soekarno yang menyatakan: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Maka menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah kita sudah merdeka dari peperangan melawan bangsa sendiri?
Penulis berpendapat dari kacamata mahasiswa, bahwa kita belum merdeka seutuhnya. Saat ini bangsa Indonesia perlu untuk melakukan banyak perubahan mendasar untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Suatu solusi aktif harus dimulai dari diri sendiri dengan memaknai semangat kemerdekaan secara utuh. Semangat tersebut harus memancarkan semangat perubahan optimis. Bukan tanpa alasan, penulis memilih untuk membahas mengenai spirit filantropi kebangsaan dalam belenggu pandemi.
Secara etimologi, istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia). Sedangakan menurut terminologi, filantropi merupakan konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (services), dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai bentuk rasa cinta. Secara lebih sederhana, akar kata filantropi berasal dari “loving people” yang bermakna cinta kasih (kedermawanan) kepada sesama (Bastomi & Kasdi, 2022). Perlu diingat bahwa menjadi filantropis tidak harus berasal dari orang kaya, sebab spirit filantropi dapat dimulai dari diri sendiri. Segala bentuk kegiatan individu maupun kelompok atas dasar kepedulian dan rasa cinta antar sesama adalah bentuk implementasi dari spirit filantropi. Itulah mengapa filantropi sering dikaitkan dengan istilah karitas (charity) dan lebih dikaitkan dengan proses “sharing private resources untuk public benefit”. Private resources di sini tidak mesti diartikan dengan uang, tetapi dapat dalam bentuk sumber daya lainnya, seperti pikiran, tenaga, dan benda.
Meski berbeda dalam konsep maupun prakteknya, tradisi filantropi sudah dikenal di setiap kebudayaan umat manusia sepanjang sejarah. Pun demikian di masa pandemi sekarang ini, filantropi terus digerakkan oleh berbagai organisasi sosial dan keagamaan. Namun, yang menjadi catatan adalah bagaimana filantropi hadir dengan semangat kebangsaan. Artinya, dalam prinsipnya menjadi Bhinneka Tunggal Ika dalam naungan Pancasila. Mengapa kehadiran filantropi kebangsaan ini penting? Pasalnya, terkadang kita menjumpai ada sebagian orang ataupun kelompok yang mengabaikan amanat ”Bhineka Tunggal Ika”. Sebagai contoh dengan pilih-pilih dalam memberikan bantuan menghadapi wabah Covid-19, ancaman dan persoalan tak acuh terhadap kebijakan pemerintah Satgas Covid-19 untuk bersama-sama mengurangi resiko penyebaran virus. Iya, sesederhana memakai saat keluar rumah. Ironis sekali bukan?
Adil dan Peduli: Implementasi Semangat Filantropi
Ada 2 poin utama yang akan penulis bahas mengenai sikap yang mengimplementasikan semangat filantropi dalam menghadapi Covid-19. Adapun semangat tersebut meliputi sikap peduli dan adil. Pertama, sikap peduli. Dapat kita lihat, bahwa kepedulian berasal dari sendiri diiringi pemahaman bahwa kita hidup berdampingan. Sudah sepatutnya kita merasakan atmosfer kebersamaan dan kekeluargaan dalam berbangsa dan bernegara, termasuk saat pandemi. Misalnya, memakai masker saat keluar rumah, social distancing, dan mematuhi seperangkat kebijakan pemerintah lainnya demi kebaikan bersama.
Baca juga: Filosofi Kemerdekaan
Bentuk kepedulian ini harus terus ditingkatkan sehingga tercipta semangat gotong royong yang kuat, saling membantu satu sama lain yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa secara terus menerus tanpa terputus. Kedua, sikap adil. Salah satu implementasi spirit filantropi kebangsaan selanjutnya ialah adil. Filantropis yang adil tidaklah mementingkan kepentingan suatu individu atau kelompok. Demikian juga dalam menghadapi pandemi ini, kita harus adil memberikan bantuan terhadap korban yang terdampak Covid-19. Distribusi bantuan bagi terdampak Covid-19 yang tidak adil tentu akan membuat ketimpangan dan kesenjangan. Jangan sampai masyarakat kehilangan rasa percaya kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan.
Perlu diketahui betul bahwa kepekaan hati dan solidaritas masyarakat Indonesia terus diuji selama pandemi ini, namun tak sedikit masyarakat yang sudah sadar. Penulis bersyukur karena beragam bentuk kepedulian sosial telah hadir di masyarakat. Semangat filantropi seperti demikian harus terus dipupuk. Penulis berharap semua pihak saling memicu, mendukung, dan mau berkontribusi untuk menghadapi isu-isu yang tengah terjadi. Selamat Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-77! Maju terus Indonesiaku!
Referensi:
Bastomi, H. & A. Kasdi. 2022. Kegiatan filantropi di masa pandemi peran satgas NU dalam menanggulangi dampak Covid-19 di Indonesia. Muslim Heritage 7(1): 29-52.
Herdiana, D. 2020. Pengawasan kolaboratif dalam pelaksanaan kebijakan bantuan sosial terdampak Covid-19. Jurnal Dinamika Pemerintahan 3(2): 85-99.
Kemendikbud. (2020). Mendikbud Terbitkan SE tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Covid19. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/03/mendikbud-terbitkan-se-tentang-pelaksana an-pendidikan-dalam-masa-darurat-covid19#:~:text=Jakarta%2C%20Kemendikbud%20%2D
%2D%2D%20Menteri%20Pendidikan,nasional%20(UN)%20Tahun%202020. diakses pada 11 Agustus 2022 pk. 06.03 WIB.
Kompas.com. 2021. Beragam Istilah Pembatasan Sosial, dari PSBB, Ne Normal, Hingga PPKM Berlevel.
https://www.kompas.tv/article/194796/beragam-istilah-pembatasan-sosial-dari-psbb-new-nor mal-hingga-ppkm-berlevel?page=2 diakses pada 11 Agustus 2022 pk. 05.32 WIB.
Kumparan.com. 2020. Ini Bukti Data Kasus Corona Masuk Indonesia Sejak Akhir Januari 2020.
https://kumparan.com/kumparansains/ini-bukti-data-kasus-corona-masuk-indonesia-sejak-ak hir-januari-2020-1tGgkxIsKap diakses pada 11 Agustus 2022 pk. 05.04 WIB.
News.google.com. 2022. Virus Corona (Covid-19). Dalam: https://news.google.com/covid19/map?hl=id&mid=%2Fm%2F03ryn&gl=ID&ceid=ID%3Ai d diakses pada 11 Agustus 05.13 WIB.
Susilo, A., C.M. Rumende, C.W. Pitoyo., W.D. Santoso, M. Yulianti, H. Herikurniawan, L.K. Chen. 2020. Coronavirus disease 2019: tinjauan literatur terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 7(1): 45-67.