Kala itu ribuan musuh negara masih menjajah negri ini, rempah-rempah alam masih melimpah ruwah.
Hutan-hutan belantara disemenanjung pulau, berhektar-hektar kita yang punya.
Apasal rakyat masih miskin melarat.
Dipojok desa-desa terdengar sayup-sayup kalimat indah dilantunkan, tersirat dari bibir-bibir basah yang penuh harapan.
Fajar, siang, petang hingga matahari terbenam tak henti-hentinya suara itu berdendang bagaikan tangga-tangga nada yang berirama dimainkan.
Bait demi bait, ayat demi ayat, dan goresan tinta bolpoin dibalik lembar kitab kuning dilalui perlahan-lahan, demi perjuangan, harapan , serta cita-cita luhur yang telah diidam-idamkan.
Tahun 45 menjadi saksi atas sejarah menjadi rekam jejak dimana kaum-kaum bersarung berjuang mempertahan kemerdekaan untuk mengusir pengusik ketentraman negri, dawuh kiyai seolah-olah menjadi jimat bagi santri yang maju terus berjuang dimedan perang.
Syaikhona Hasyim Asyari menjadi komando barisan para santri atas resolusi jihad, ribuan kaum bersarung mengepung surabaya kala itu lautan api membara membakar semangat santri agar supaya penjajah angkat kaki dari negri ini
Merdeka bukan hanya sepenggal kalimat dari segelintir kaum, bukan juga untuk beberapa kalangan, kolega, atau kalangan-kalangan menengah lainnya. Bukan kebebasan atau menjadi liar dalam bernegara apalagi menghantam sana -sini tanpa arah.
Hadiah dari syaikhona sepenggal kalimat untuk bangsa ini namun menggetarkan semangat surabaya kala itu, “hubbul wathan minal iman” untuk apa kalian tinggal namun acuh tak acuh terhadap negara kini kalimat itu menjadi jimat jika ingin hidup tetap tinggal di negara dengan damai dan tentram.
Editor: Tim Jurnalis Al-Hikam
Baca juga: Santri Mendunia Silaturahmi da Bedah Buku di Pesantren Al-Hikam Depok