Ilmu dan amal ibarat dua sisi mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi. Ilmu selalu menuntut adanya amal, sementara amal tanpa ilmu bagaikan sebuah cangkang kosong yang tidak memiliki nilai-nilai kehidupan.
Salah satu tujuan dari diciptakan dan ditempatkannya manusia di muka bumi ini adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Aż-Żāriyāt [51] ayat 56, Allah Swt. berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Ibadah dalam pengertian diatas tentu tidak dalam arti yang sempit, melainkan memiliki makna yang sangat luas. Apapun aktivitas atau amal yang dilakukan oleh seseorang, jika dilandasi dengan niat yang yang baik serta dilakukan dengan cara yang benar maka akan bernilai ibadah dan mendapat pahala disisi Allah Swt. Pun sebaliknya, suatu amal jika dilakukan tanpa didasari ilmu serta dilandasi niat yang baik, maka amal tersebut bisa berubah menjadi keburukan yang membawa mudlarat bahkan malapetaka bagi si pelaku juga orang-orang di sekitarnya.
Ilmu Menentukan Nilai Amal
Para ulama banyak membahas mengenai betapa pentingnya ilmu terhadap suatu amal. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya membuat satu bab tersendiri dengan judul “al-’Ilm Qabl al-Qaul wa al-‘Amal” (ilmu itu mendahului perkataan dan perbuatan). Menurut para pen-syarah, yang dimaksudkan dalam judul tersebut adalah bahwasanya ilmu menjadi syarat bagi kesahihan perkataan dan perbuatan seseorang. Sehingga keduanya (qaul dan ‘amal) tidak dianggap baik dan benar kecuali dengan adanya ilmu. Dengan ilmulah niat seseorang menjadi lurus dan amalnya menjadi bernilai karena sesuai dengan maqasid (tujuan) dan etika yang telah ditetapkan oleh syariat.
Diantara dalil yang dipaparkan Imam Bukhari terkait pernyataannya itu adalah firman Allah Swt:
فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ ࣖ
“Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu…” (Muḥammad [47]:19)
Dalam ayat tersebut, pertama Rasulullah saw. diperintahkan untuk memahami ilmu tauhid, kemudian berulah diperintah untuk beristigfar yang mana itu adalah amal. Meskipun ayat tersebut ditujukan kepada Rasul saw, namun menurut para ulama perintah yang dikandungnya juga ditujukan kepada seluruh umatnya.
Dalil lainnya adalah firman Allah Swt:
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (Fāṭir [35]:28)
Maka dengan ilmulah dalam diri seseorang akan muncul rasa khasyah/takut kepada Allah Swt. sehingga mendorongnya untuk melakukan amal ibadah. Dengan ilmu pula ia dapat mengetahui mana yang semestinya didahulukan dan apa yang seharusnya diakhirkan. Tanpa ilmu, seseorang dalam beramal akan kehilangan arah dan melakukan tindakan yang tidak sesuai -bahkan bertentangan- dengan syariat atau agama.
Ancaman Terhadap Orang Yang Tidak Berilmu
‘Umar bin Abdul Aziz, yang masyhur dengan julukan Khulafa’ ar-Rasyidin ke-5 umat Islam, pernah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu, maka apa yang ia rusak lebih banyak daripada yang ia perbaiki.”
Kondisi sebagaimana yang disinggung Khalifah ‘Umar diatas nampaknya banyak terjadi pada sebagian kalangan umat Islam saat ini, bahkan sejak dahulu. Banyak diantara kaum muslimin yang tidak kurang kadar ketakwaan, keikhlasan, dan semangatnya, tetapi mereka tidak memiliki ilmu serta pemahaman terhadap tujuan ajaran agama dan hakikat agama itu sendiri. Akibatnya, muncullah kaum-kaum Khawarij dan generasinya yang melakukan berbagai kerusakan serta kedzalilman dengan mengatasnamakan agama. Sebagaimana pada kasus pembunuhan seorang Khawarij, Ibnu Muljam, terhadap Ali bin abi Thalib, sahabat terdekat sekaligus menantu Rasul saw. yang sangat beliau cintai. Kaum Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum muslimin atas dasar hawa nafsu mereka (kaum Khawarij) sendiri yang sesat dan akal mereka yang kosong dari pemahaman terhadap ajaran Islam.
Baca Juga: Urgensi Menuntut Ilmu bagi Seorang Muslim
Rasulullah saw. pernah memperingatkan tentang kemunculan kaum Khawarij dengan menyebutkan sifat-sifat mereka:
تحقرون صلاتكم مع صلاتهم , وصيامكم مع صيامهم , وعملكم مع عملهم , يقرأون القران لا يجاوز حناجرهم , يمرقون من الدين كما يمرق السهم الرمية
“Kalian akan meremehkan (kuantitas) sholat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, meremehkan (kuantitas) puasa kalian dibandingkan dengan puasa mereka, dan meremehkan (kuantitas) amal kalian dengan amal mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tetapi (bacaan mereka) tidak melewati kerongkongan. Mereka menyimpang dari agama sebagaimana melesatnya anak panah yang terlepas dari busur.”
Maknanya adalah mereka, kaum Khawarij, merupakan sekumpulan orang yang giat dalam beribadah. Namun, pemahaman mereka tentang agama sangatlah dangkal. Mereka sama sekali tidak mendapat manfaat apapun dari Al-Qur’an yang mereka baca meskipun mereka banyak mendirikan shalat dan puasa.
Baca Juga: Islam Memandang Perempuan
Kesimpulannya, ilmu merupakan bagian yang tidak boleh terpisahkan dari amal. Dengan ilmu seseorang dapat melakukan amal dengan baik dan benar sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat. Namun, perlu digarisbawahi, bahwa tidak boleh menjadikan kurangnya ilmu sebagai alasan dari meninggalkan amal. Seseorang tetap harus melakukan amal sebagaimana yang ia mampu, فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ (bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!). Disamping ia harus senantiasa meningkatkan kadar keilmuannya demi meningkatkan kualitas amal sebagaimana dikehendaki oleh syariat, اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ (bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa!).
Wallahu a’lam.
Editor: