Penyalinan teks ayat dalam mushaf cetak umumnya menggunakan satu warna, yaitu warna hitam. Namun kemudian muncul pewarnaan teks pada bidang-bidang tertentu dengan warna-warna berbeda. Ini merupakan salah satu inovasi dalam percetakan Mushaf Indonesia. Sebenarnya, pewarnaan teks ayat pada Mushaf sudah ada sejak dulu, yaitu munculnya tanda merah pada lafaz jalalah (Allah). Fungsi pewarnaan tersebut adalah sebagai pengingat bagi pembaca akan keagungan Allah. Inilah yang kemudian menjadi salah satu gagasan terciptanya Mushaf Tajwid Warna.
Merujuk dari Jurnal Suhuf, Mushaf Tajwid Warna mulai muncul di Indonesia sejak tahun 2005. Pada awalnya, varian mushaf tajwid warna sangat beragam, baik dari segi model pewarnaan maupun pilihan warna yang digunakan. Namun, setelah diterbitkannya buku Pedoman Tajwid Sistem Warna oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), penerbitan mushaf tajwid warna menjadi lebih teratur karena lebih terarah.
Baca juga: LPMQ Undang STKQ Al-Hikam di Sidang Reguler
Penjualan Mushaf Tajwid Warna mengalami peningkatan signifikan, sejak 2005 hingga 2020. Peningkatan tampak tinggi pada 2016 dilihat dari pengajuan tashih mushaf tajwid warna ke Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Bahkan hingga tahun 2023 ini masih banyak penerbit yang mengajukan tanda tashih Mushaf Tajwid Warna ke LPMQ dibuktikan pada Sidang Reguler Pentashihan II Pada 13-15 Maret kemarin, dari 8 Mushaf yang mengajukan tanda tashih 6 diantaranya merupakan Mushaf Tajwid Warna. Dari data ini, tampak jelas banyaknya peminat mushaf jenis tersebut.
Mushaf tajwid warna memang sangat menarik apalagi dikemas dengan sampul yang cerah dan kertas berwarna. Selain itu, penerbit biasanya juga menambahkan konten-konten tambahan seperti informasi keagamaan, tafsir singkat, motivasi islami dan lain sebagainya. Diantara manfaat adanya warna adalah mempermudah pembaca menghafal tajwid, bagi para pemula konsep tajwid warna sangat membantu proses membaca Qur’an tanpa berpikir lama mengenai hukum bacaan atau harus membuka buku panduan tajwid terlebih dahulu. Ini tentu sangat praktis karena cukup melihat kode warna yang tertera di bagian paling bawah halaman. Selain itu, warna-warna yang dipakai sebagai kode warna merupakan warna-warna cerah yang dapat meningkatkan semangat membaca Al-Qur’an.
Baca juga: Santri dan Pentashih Mushaf Al-Qur’an di Kementerian Agama
Namun, terlepas dari kelebihannya, ternyata konsep tajwid warna mengandung bahaya. Karena kemudahan ini dapat membuka potensi orang malas mempelajari tajwid secara mendalam kepada gurunya melalu talaqqi musyafahah. Beberapa oknum kemudian berhenti pada tahap “tahu” tidak sampai pada tahap “paham”. Hal ini juga menyebabkan munculnya kesalahan-kesalahan dalam melafalkan suatu hukum bacaan. Fenomena ini dibuktikan dengan penuturan KH. Muhaimin Zen saat Sidang Reguler Pentashihan. Beliau membagikan pengalamannya mengajar mahasiswa di suatu perguruan tinggi, saat beliau bertanya kepada mahasiswa tersebut mengenai hukum suatu bacaan dia dapat menjawab dengan benar, namun saat ditanya mengapa?, ada berapa hurufnya?, dia tidak mengetahuinya. Saat ditanya kembali bagaimana kamu tahu hukum bacaanya? Mahasiwa tersebut menjawab “karena di mushaf itu berwarna hijau”.
Menanggapi hal ini ketua LPMQ, H. Abdul Aziz Shidqi, M. Ag, menyatakan bahwa LPMQ tidak mungkin menghilangkan mushaf warna ini, namun beliau dan para pentashih lain berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat terkait tradisi belajar Al-Qur’an dan hakikat fungsi Mushaf Tajwid Warna. Kendati demikian, beliau akan menghimbau mahasiswa agar tidak menggunakan mushaf jenis tersebut.
Dari kasus ini hendaknya kita menyadari bahwa inovasi dan kemudahan yang ada hanyalah sebagai media untuk mempermudah kita dalam mempelajari sesuatu. Begitupula pewarnaan teks pada mushaf, bermaksud sebagai tanda bacaan agar pembaca sentiasa mengingat hukum bacaan tertentu dengan melihat warna tersebut, bukan justru memangkas tradisi belajarnya, yaitu dengan talaqqi musyafahah.