Sarjana Tapi Cuma Guru Ngaji

Depok, walisongoonline – Ustazah Mita, Miftah, Ita, atau apa pun panggilan untuknya, saya bersumpah tidak akan membiarkan Zahra datang ke tempat ceramahnya sendirian lagi. Ketika kalian melihatnya langsung, betapa hancurnya hati Zahra saat bercerita setelah mendengar ceramah ustazah itu.

Ketika itu, aku dan temanku, Zahra, sedang mengobrol di kantin Fakultas Tarbiyah. Dia bercerita habis datang ke tempat pengajian yang berada di aula Fakultas MIPA. Kajiannya berbentuk modern, dengan tempat duduk kursi yang menghadap ke panggung. Zahra mendapat barisan pertama di samping karena gercep mendaftar ketika melihat ada pengajian menarik di kampus. Barisan tengah ternyata diisi oleh orang-orang penting di kampus. Rektor dan dekan ternyata duduk di sebelah tempat duduknya. Hanya dipisah beberapa satu meteran untuk jalan peserta atau panitia jika lewat.

Saat itu, Ustazah Miftahul Jannah memulai ceramahnya dengan sangat unik baginya yang berasal dari Fakultas Tarbiyah. Beliau menarik perhatian audiens dengan melucu sejenak. Hadirin pun tertawa, baik yang memang sekadar terbawa arus seperti dia atau memang menertawakan objek yang dibahas oleh beliau.

Apakah menertawakan penjual es atau tukang sound? Oh tentu tidak. Beliau tidak sejahat itu menertawakan para pejuang nafkah keluarga. Ayah kita juga pejuang, bukan, dengan apa pun profesinya.

Akan tetapi, ketika sudah masuk ke inti ceramah, sering kali kami tertawa sakit saat itu. Berkali-kali beliau menertawakan para sarjana yang menjadi guru ngaji di depan para mahasiswa FMIPA. Beliau berkumandang jangan sampai kalian lulus dari sini tidak menghasilkan apa pun. Hanya mengumandangkan azan di musala yang hampir roboh atau mengajarkan anak-anak membaca abata.

Detik-detik itulah aku melihat Zahra hancur. Rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk dadaku. Sebagai temannya, aku ingin membelanya. Karena kami di samping kuliah ini hanya mengajarkan abata saja. Apalagi kakaknya Zahra sudah lulus 5 tahun lalu tapi hanya menjadi guru ngaji. Semakin murunglah dia.

Baca Juga: Santri In The World Of Diversity: Weaving Its Tapestry (1)

Zahra menunduk, menggigit bibirnya, lalu berbisik, “Teh, aku takut… Takut kalau nanti aku cuma kayak Kakak, cuma jadi guru ngaji. Apa sia-sia ya aku kuliah?”

“Hei, jangan bilang begitu,” kataku mencoba tersenyum meski hatiku ikut perih. “Memang kan fakultas kita fokus pengajaran untuk mengajarkan anak-anak.”

“Iya sih, tapi kalau dengar Ustazah Mita tadi ceramah tuh rasanya kayak remeh banget deh kalau cuma jadi guru ngaji. Mana gajinya buat makan kadang kurang.”

Saat itulah aku menarik napas dalam-dalam, membuang rasa kesal, “Kita husnuzan aja ya, mungkin karena kita datang ke pengajian fakultas umum, jadinya ustazahnya juga cerita tentang pemantik kemajuan Islam. Islam lagi enggak ada penemuan apa-apa kan,” ucapku sambil tersenyum.

“Terus kita berperan apa di kemajuan Islam? Ngajar ngaji enggak perlu deh sampai kuliah 4 tahun.”

Saat itulah aku berpikir, apakah tidak ada peran guru ngaji dalam kemajuan peradaban Islam? Apakah akan sia-sia juga aku berjuang mendapat gelar sarjana pendidikan? Saat di perkuliahan pun sebenarnya kita hanya mengulang pelajaran yang sudah dipelajari saat masih di bangku sekolah sebelumnya. Paling hanya menambah lebih dalam.

Menambah lebih dalam? Nah itu dia, batinku. Jawabannya ada di menambah wawasan lebih dalam terkait sejarah para tokoh-tokoh muslim terdahulu. Selain mendalami materi pelajaran agar mudah dipahami, kita belajar merangkul anak-anak agar terus semangat menggali ilmu.

“Selain mengajarkan materi, kita juga sebenarnya harus bisa belajar membalut warisan nilai-nilai luhur dari para ulama dan tokoh Islam. Biar anak-anak semangat untuk belajar ke jenjang yang tinggi sampai Islam kembali mendominasi dunia.”

Aku memegang tangannya erat, “Kalau begitu, ayo kita buat perubahan bersama. Mulai dari kelas kecil kita, kita jadikan mereka generasi yang membuat Islam bangkit lagi.”

Zahra tersenyum tipis, tapi aku tahu hatinya masih berperang. Setidaknya, aku ingin berdiri di sisinya sampai dia menemukan keyakinan itu lagi.