Masjid milik orang Islam

Di depan rumah yang sederhana, dua pemuda duduk bersandar sambil membaca buku. Hawa sore terasa sejuk, angin perlahan menghembuskan wangi tanah dari lapangan depan masjid kecil di pinggiran kota. Masjid itu, meskipun sederhana, memiliki kubah kuning yang memancarkan cahaya keemasan ketika senja tiba.

“Masuk masjid cuma buat kencing, nggak apa-apa kan?” ujar Raka sambil menunjuk ke arah masjid. “Kan fasilitasnya memang untuk umum. Toh pengurus masjid dapat pahala juga.”

Fahmi, yang tadinya fokus membaca buku di tangannya, mengangkat alis. “Kamu pikir itu nggak masalah? Mereka capek-capek ngurus masjid, bersihin kamar mandi, bayar tagihan, yang datang cuma buat numpang kencing. Solat nggak, sedekah juga nggak. Nggak malu apa?”

“Lho, masjid itu rumah Allah, bukan rumah pengurus. Semua orang bebas memanfaatkannya,” balas Raka dengan nada santai.

Fahmi meletakkan buku yang tadi ia pegang. “Iya, semua orang boleh memanfaatkan. Tapi masjid bukan tempat untuk dimanfaatkan seenaknya. Minimal solat dua rakaat, atau taruh uang seribu di kotak amal. Itu sudah cukup untuk menghargai jerih payah orang yang mengurusnya.”

Raka tersenyum kecil. “Kamu bawa perasaan banget. Bukannya pengurus masjid itu ikhlas? Kenapa harus merasa dirugikan?”

Fahmi menghela napas. “Ikhlas itu bukan berarti rela dimanfaatkan. Kamu tahu nggak, pengurus masjid itu sering nggak dihargai. Listrik, air, semua itu harus dibayar. Kalau cuma bergantung pada sumbangan, siapa yang mau bertahan?”

Raka terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke masjid. “Tapi, Mi, jujur aja ya. Masjid itu kok gitu-gitu aja? Kamar mandinya kotor, sampah di depan berserakan, karpetnya bau. Padahal yang nyumbang banyak. Ke mana uangnya?”

Fahmi memutar bola matanya, sedikit jengkel. “Kamu kira uang itu cuma buat beli karpet baru? Marbot butuh gaji, air dan listrik jalan terus, acara-acara keagamaan juga butuh biaya. Kamu nggak ngerti betapa ribetnya ngurus masjid.”

Baca Juga : Sarjana Tapi cuman Guru Ngaji

“Tapi, hasilnya mana?” potong Raka. “Orang yang nyumbang juga mau lihat masjid jadi lebih baik, bukan cuma bayar tagihan doang.”

Fahmi mengangguk pelan, nada suaranya mulai melunak. “Iya, aku ngerti maksudmu. Tapi ngurus masjid itu nggak cuma soal fasilitas. Ada manusia di balik semua itu. Pengurus juga butuh apresiasi, biar nggak capek hati. Kalau cuma kritik doang, kapan selesainya?”

Keduanya terdiam. Dari kejauhan, seorang lelaki tua muncul dari pintu masjid sambil membawa kantong sampah besar. Pak Husin, marbot masjid itu, tampak berjalan pelan dengan wajah penuh peluh.

“Pak Husin kerja keras banget, ya,” gumam Raka. “Dia nggak pernah ngeluh meski kondisinya kayak gitu.”

Fahmi menatap temannya, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Kamu tahu kenapa? Karena dia tahu nggak ada orang lain yang akan menggantikan dia.”

Fahmi berjalan mendekati Pak Husin, menawarkan bantuan. Sementara itu, Raka duduk termenung. Dalam pikirannya, ia mulai melihat masjid bukan hanya sebagai bangunan, tetapi sebagai tempat yang hidup karena perjuangan orang-orang seperti Pak Husin.

Ketika Fahmi kembali, ia berkata, “Masjid ini memang milik orang Islam. Tapi Rasulullah pernah bersabda, orang yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Kalau kita cuma masuk tanpa kontribusi, apa kita pantas menyebut diri mengikuti ajaran beliau?”

Raka tersenyum kecil, untuk pertama kalinya tanpa membantah. “Kayaknya aku harus mulai nyumbang seribu tiap kali masuk masjid, ya.”

Fahmi tertawa, menepuk pundak temannya. “Seribu juga cukup. Yang penting ada usaha.”

Di bawah langit senja, dua pemuda itu menatap masjid kecil itu dengan pandangan baru, seolah menyadari bahwa ‘menjaga’ rumah Allah adalah tugas bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.