Al-Ikhlas memandu kita menyusuri jalan menuju Yang Nyata. Al-Haqq membimbing kita untuk mengenali mana yang loyal dan mana yang visual. Pikiran kita dibuka untuk memahami makna pertolongan dan syafa’at Tuhan yang selama ini kita damba dan harapkan. Sebab tanpa kita mengenal dan mengetahui jenis pertolongan itu dengan benar, maka yang akan datang justru pertolongan setan yang mesti kita jauhi.
Banyak manusia yang menemukan jati dirinya lewat cinta, yang jatuh dan sanggup bangkit juga karena cinta, bahkan menjadi baik, lebih, dan sangat baik juga karena cinta. Meski tak banyak pula orang kehilangan akal sehat dan prinsip hidupnya juga karena cinta. Definisi cinta yang dikutip dari kitab karangan Al-Ghazali menjelaskan,
الحب عبارة عن: مَيْلُ الطَّبْعِ إلَى الشّيْءِ الْمَلَذِّ، فإنْ تَأَكَّدَ ذَلِكَ المَيْلُ وَقَوِىَّ سُمِّيَ عِشْقًا فَيُجَاوِزُ إلى أَنْ يَكُونَ رَفِيقًا لِمَحبُوبِهِ وَ يُنفِقُ مَا يُملِكُ لِأَجلِهِ (مكاشفة القلوب)
Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang menyenangkan, jika kecenderungan itu teguh nan kuat itulah yang dinamakan cinta. Maka dia bisa menjadi pendamping untuk kekasihnya dan memberikan apa yang dia punya untuknya.
Dengan cinta seseorang bisa dekat dengan Tuhannya, dan dengan cinta pula seseorang bisa terjerumus jauh dari apa yang Tuhannya perintahkan. Lantas, itu semua tak jauh dari menanamkan serta menumbuhkan keimanan secara struktural. Secara tersirat cinta memiliki nilai kewajiban bagi seseorang yang telah dalam memahami dan merasakan nikmatnya iman. Sehingga akan menambah nilai ketaatan terhadap setiap ibadah yang ia kerjakan. Karena pada hakikatnya, apa yang kita sukai belum tentu Allah kehendaki, dan apa yang kita benci justru itu yang Allah ridai.
وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya; “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”(Al-Baqarah:217)
Untuk manusia biasa seperti kita ini, mungkin masih banyak amal-amal yang bertabur penyakit, kelemahan, dan kekurangan. Namun bila manusia mampu menyatukan rasa cinta yang sejati, bersih, nan abadi kedalam hatinya dengan nama Allah dan Rasul-Nya, maka hal itulah yang akan menutupi segala kekurangan pada amalnya lalu mengantarkannya ke tempat yang luhur, yang sulit diraih oleh angan-angannya.
Anas bin Malik berkata, “Aku mencintai Allah, Rasul, Abu Bakar, dan Umar, dan berharap semoga kelak aku bisa bersamanya meskipun aku tak mampu beramal layaknya mereka.” Dalam hal ini bukan berarti amal tidak diperlukan ketika cinta sudah mulai tumbuh atau bahkan bersatu dengan sang pecinta, namun justru cinta itu yang akan membuat amal semakin kuat dalam setiap tindakannya.
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Ali Imran:31)
Perlu kita ketahui, bahwa kecintaan hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Adapun kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah sebuah limpahan ampunan.
Namun, Abdul Aziz Musthafa dalam bukunya Mahabbatullah mengutarakan, bahwa hal tersebut bukanlah penghalang untuk memisahkan antara amal dengan cinta. Seperti halnya aktivitas yang dilakukan tanpa gairah dan tekad, demikian pula mahabbah yang tanpa disertai amal, pasti mahabbah tersebut hanyalah kamuflase belaka. Bahkan semua keimanan yang diklaim tanpa mahabbah dan amal, pasti tidak akan pernah ada wujudnya.
Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata, “Cinta kepada Allah dan rasulnya adalah tuntunan iman teragung, pangkal keimanan terbesar, serta pondasi terkuat, bahkan ia merupakan pangkal seluruh perbuatan dari keimanan dan agama.” Disitulah seharusnya kita selalu merasa perlu untuk meminta kepada Allah agar hati kita selalu dimurnikan atas segala niat yang kita utarakan. Diriwayatkan dari At-tirmidzi r.a, Rasulullah SAW berdo’a,
وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيْمًا
“Dan aku memohon kepada-Mu hati yang suci.”
Sekelas Rasulullah yang sudah dijamin hati dan perbuatannya saja masih tetap berdo’a. lantas bagaimana kita yang hakikatnya belum terjamin apa-apa tapi sudah melakukan yang neko-neko.
قال الفضيل -رحمه الله- إذا قيل لك أتحبّ الله؟ فاسكت, فإنّك إن قلت: لا, أكفرت. وإن قلت نعم, فليس وصفتك المحبّين. فاحذر المقت. (مكاشافة القلوب للإمام الغزالي:ص.30)
Al-Fudhayl r.a berkata, “Apabila ditanyakan kepadamu, apakah engkau mencintai Allah? Diamlah. Sebab, jika engkau menjawab tidak, engkau kafir sebaliknya jika engkau menjawab ya, sifatmu bukanlah seorang pecinta Allah. Maka waspadalah dalam mencintadan membenci sesuatu. Wallaahu a’lam bishoshowaab.
Baca Juga: Islam Memandang Perempuan
Editor: Tim Jurnalis Al-Hikam