Depok, walisongoonline.com – Setelah berakhirnya masa kekhalifahan, Islam menyebar secara luas termasuk di Eropa. Jerman menjadi salah satu negara Eropa dengan populasi Muslim yang cukup tinggi. Islam di Jerman menempati urutan kedua setelah Perancis. Oleh karena itu, keberadaan Islam di Jerman memiliki catatan sejarah yang cukup panjang.
Sejarah masuknya Islam ke Jerman dimulai dari perang antara Rusia dan Turkish pada tahun 1683. Pada waktu itu, orang-orang Islam pertama kali masuk ke tanah Jerman sebagai tahanan pengepungan kota Wina yang dilakukan oleh Kekaisaran Ottoman Turki. Pada tahun 1735 hingga 1739, semakin banyak tahanan Muslim Turki yang diasingkan ke Jerman. Dari sinilah Islam mulai berkembang secara luas di negeri yang dikenal sebagai Das Land der Erfinder ‘negeri penemu’.
Berdasarkan data dari Konferensi Islam Jerman (DIK) 2023 yang merujuk pada penelitian kehidupan Muslim Jerman (Muslimisches Leben in Deutschland) pada 2020, jumlah Muslim di Jerman mencapai 6% dari total populasi. Ini berarti sekitar lima juta Muslim menetap di negara Jerman.
Tantangan umat Muslim di Jerman
Seiring berjalannya waktu, keberadaan komunitas Muslim di Jerman menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dengan identitas hibrid. Prof. Arif Zamhari, dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhan guru besar di UIN Jakarta (15/5/2024) yang berjudul “Migrasi Agama dan Identitas: Pembentukan Identitas Hibrid Pemuda Muslim Jerman,” membahas tema dari penelitiannya di Goethe University Frankfurt. Menurutnya, Muslim di Jerman, terutama pemuda Muslim imigran, menghadapi masalah identitas hibrid. Dalam risetnya, Prof. Arif menjelaskan strategi pemuda Muslim imigran Jerman untuk tetap diakui sebagai warga negara Jerman, meskipun berstatus sebagai Muslim.
“Dengan jumlah populasi yang cukup besar, keberadaan umat Islam di Jerman telah menyisakan sejumlah pertanyaan di kalangan pemerintah. Hal ini terkait bagaimana mengintegrasikan umat Islam dengan masyarakat Jerman yang secara budaya dan agama memiliki latar belakang yang berbeda. Sementara di kalangan muslim keberadaan mereka mengharuskan pengakuan terhadap identitas. Identitas ini adalah sebagai warga Jerman, muslim, dan anggota etnik mereka”. Terang Prof. Arif dalam pidatonya.
Pembentukan identitas menjadi isu penting bagi pemuda Muslim. Mereka harus menegosiasikan antara budaya yang diwariskan orang tua mereka dan budaya mainstream tempat mereka tinggal. Prof. Arif Zamhari yang merupakan Kepala Yayasan Pesma Al-Hikam juga menyebutkan bahwa proses ini tidak mudah. Meskipun lahir di Jerman, mereka belum dianggap sebagai warga Jerman sepenuhnya.
Berdasarkan hasil survei, meskipun sebagian penduduk Jerman merasa terbuka terhadap perbedaan, tetap ada kecurigaan dan stereotip negatif terhadap Muslim. Umat Islam sering kali dianggap intoleran, fanatik, dan tidak demokratis. Bahkan beberapa politisi menganggap bahwa ‘Islam’ bukan bagian dari tradisi Jerman.
Baca Juga: Perayaan Idul Adha di Jepang: Solidaritas Muslim di Negeri Sakura
Strategi Pemuda Imigran Jerman dalam Mengatasi Identitasnya
Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemuda Muslim imigran Jerman tidak tinggal diam.
Mereka menggunakan strategi tertentu untuk memperkuat identitas mereka sebagai Muslim sekaligus warga negara Jerman. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah melalui pendekatan ‘Identitas Hibrid’. Identitas ini memungkinkan mereka untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang berbeda. Hal ini karena adanya keragaman budaya dan proses pertukaran antara kebutuhan pribadi dengan tuntutan dari luar. Proses penyesuaian ini melibatkan negosiasi yang berlangsung terus menerus.
Salah satu cara konkret yang dilakukan pemuda Muslim adalah dengan mendirikan organisasi atau perkumpulan. Organisasi ini tidak hanya memperkuat identitas mereka sebagai Muslim Jerman tetapi juga bertujuan untuk mengurangi prejudice ‘prasangka’ dan ketakutan terhadap komunitas muslim. Melalui organisasi ini, pemuda Muslim Jerman dapat melaksanakan praktik-praktik keagamaan dan menguatkan solidaritas mereka baik di tingkat individu maupun kelompok.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal tersebut bukan sesuatu yang mudah. Mereka harus berjuang menghadapi tantangan bahwa masyarakat Jerman tidak sepenuhnya menerima mereka sebagai warga negara Jerman. Sekalipun mereka dilahirkan di Jerman, fasih berbahasa Jerman, dan merasa sepenuhnya sebagai warga Jerman. Namun, dalam kenyataannya mereka belum seutuhnya diterima oleh warga Jerman.
Pasalnya, warga Jerman masih memandang secara skeptis terhadap imigran yang telah menjadi warga Jerman. Padahal identitas mereka sebagai imigran masih melekat. Tantangan inilah yang tampaknya kerap dihadapi oleh remaja Muslim Jerman.
Dampak Media dan Pandangan Masyarakat
Namun, tantangan tidak berhenti di situ, Media Jerman seringkali melaporkan aktivitas pemuda Muslim dengan bias negatif. Misalnya, dilaporkan bahwa sekelompok pemuda Muslim di Berlin berdakwah di sekolah-sekolah untuk merekrut anggota baru. Tuduhan ini sering kali berdasarkan generalisasi tanpa penyelidikan yang mendalam. Akibatnya, organisasi ini kesulitan merekrut anggota baru dari kalangan remaja dan pemuda Muslim. Hal ini mempengaruhi upaya mereka untuk menjadi Muslim yang baik dan warga negara Jerman yang baik.