Siapa yang tidak mengenal Habib Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi. Beliau adalah salah seorang pengarang kitab maulid terkenal “Simtud Duror”. Sebuah kitab maulid yang masyhur dan penuh barokah, yang hingga kini dibaca di berbagai majelis ilmu di dunia, khususnya Hadhramaut, Nusantara, dan Afrika. Beliau adalah salah seorang ulama yang lahir dari orang tua yang sangat gemar berdakwah.
Kesalihan Habib Ali tumbuh sejak usianya masih kecil berkat didikan kuat dari ayah maupun ibunya. Ayah beliau, Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi merupakan seorang ulama besar dari kota Seiwun yang menghabiskan seluruh usianya untuk belajar, beribadah, dan berdakwah ke berbagai wilayah.
Sedangkan ibu kandungnya adalah seorang sayyidah salihah, Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri. Beliau juga sangat gemar membimbing orang-orang di sekitarnya untuk mengajarkan tata cara beribadah dalam Islam. Dengan penuh kesabaran Sayyidah Alawiyyah bersama suaminya berdakwah dari satu kampung ke kampung lainnya mengenalkan ajaran Islam kepada masyarakat yang pengetahuan agamanya sangat minim.
Meskipun dididik di lingkungan yang sederhana, ibunda Habib Ali tumbuh menjadi perempuan terpelajar yang memiliki keimanan dan kecerdasan kuat dalam memahami ilmu-ilmu agama. Beliau menimba ilmu bukan hanya terpaku pada satu guru saja, tetapi Ia juga belajar dari beberapa ulama besar seperti Habib Ahmad bin Umar bin Smith, Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Husein Bilfaqih, Habib Abdullah bin Ali bin Syihab, dan Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr.
Sebagai seorang anak beliau juga sangat patuh dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Pada saat sebelum pernikahan beliau, datanglah dua orang Arif billah, Umar bin Muhammad Bin Smith dan Ahmad bin Umar bin Zain Bin Smith, yang merupakan utusan dari Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi yang ingin memperistri Sayyidah Alawiyyah. Ketika disampaikan niat baik Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi, Sayyidah Alawiyyah dengan rasa hormat dan tanpa ragu sedikitpun mengatakan, sami’na wa atha’na terhadap keputusan kedua orang tuanya. Meski, saat itu beliau belum mengetahui apapun tentang Habib Muhammad.
Pernikahan Habib Muhammad dan Sayyidah Alawiyyah juga merupakan contoh pasangan yang luar biasa. Mereka menikah bukan untuk bersenang-senang atau sekedar mempunyai keturunan. Namun, pernikahan ini diniatkan untuk menjadi pelayan agamanya Allah Ta’ala. Hal ini tercermin dari kehidupan Sayyidah Alawiyyah setelah menikah yang justru semakin aktif berdakwah seperti suaminya ke berbagai daerah.
Alawiyyah dengan penuh kesabaran mengenalkan pengetahuan agama kepada para masyarakat awam. Awalnya, Ia mendatangi wanita tua yang tidak pernah mengerjakan salat kemudian membimbingnya pelan-pelan dengan penuh keikhlasan. Beliau juga sangat bersemangat menjahit banyak mukena dengan tangannya sendiri untuk para wanita di Taribah (tempat tinggal beliau) agar dapat mengajarkan mereka salat serta mengenalkan ilmu-ilmu yang lain seperti kitab-kitab fiqh dan tasawuf.
Dari kegemaran beliau mengajar dan berdakwah ini, nama Sayyidah ‘Alawiyyah semakin masyhur bahkan sampai kepada guru beliau, Habib Ahmad bin Umar bin Smith dan membuat banyak perempuan berdatangan ke kediaman beliau untuk belajar agama Islam.
Tetap Mendidik Habib Ali di tengah Kesibukan Dakwah
Hal yang menarik lainnya, meskipun Alawiyyah sangat sibuk dengan dakwahnya, Ia juga berhasil menjadi ibu yang sangat dekat dengan anaknya. Seperti kepada Habib Ali, beliau dari kecil hingga usia 17 tahun selalu bersamanya. Setiap hari, Sayyidah Alawiyyah menanamkan akhlak yang luhur kepada Habib Ali dan memberikan pendidikan terbaik dari mulai belajar, mengkhatamkan Al-Quran, dan berlanjut ilmu-ilmu lainnya. Bahkan, ketika Habib Ali pergi ke masjid untuk menuntut ilmu dari para ulama yang ada di Qasam, Sayyidah Alawiyyah akan mengantar jemput beliau karena khawatir bertemu dengan sembarang orang di jalan. Hal ini Alawiyyah lakukan untuk menjaga akhlak dan kebersihan zahir batin Habib Ali.
Sayyidah Alawiyah juga menciptakan lingkungan pendidikan yang baik untuk anaknya. Beliau membawa serta Habib Ali untuk menghabiskan waktunya sehari-hari di masjid dengan salat, berdzikir, membaca Al-Quran, dan mengajar. Sehingga bagaimana tidak menjadi orang shaleh kalau tinggalnya saja di masjid? Bagaimana tidak menjadi orang salih kalau setiap melihat ibunya, maka yang dilihatnya adalah perempuan yang sedang mengajar di majelis ilmu. Bahkan, ketika Habib Ali bertanya tentang keadaan ayahnya, beliau juga sedang dakwah dan membimbing umat ditempat yang lain.