Hikmah 122: Beramallah Tanpa Meminta Imbalan dari Allah
لَا تُطْلَبُ عَلَى عَمَلٍ لَسْتَ لَهُ فَاعِلًا
يَكْفِيكَ مِنَ الْجَزَاءِ لَكَ عَلَى الْعَمَلِ أَنْ كَانَ لَهُ قَابِلًا
Janganlah engkau menuntut upah di atas sesuatu amal [yang
pada hakikatnya] bukan engkaulah pelaku baginya.
Sudah mencukupi bagimu sebagai ganjaran atas amal itu
bahwa Dia (yakni Allah) telah menerimanya
Sebagai manusia seringkali kita menuntut balasan dari amal yang telah kita lakukan. Padahal secara hakikat sesuai dengan Hikmah ke-122, kita tidak diperkenankan meminta ganti atas amal. Cukuplah imbalan itu dengan cara Allah menisbatkan kebaikan kepadamu.
Kampus dan Pesantren: Antara Syariat dan Hakikat
Sebagai mahasiswa yang hidup di lingkungan pesantren dan kampus tentu ada sedikit pembelajaran yang berbeda namun keduanya sama-sama penting. Kehidupan kampus mengajarkan kita bahwa beramal itu harus ada gajinya (syariat). Hal ini mendidik kita untuk menjadi orang yang suka memberikan imbalan kepada orang lain. Dengan begitu, ketika suatu saat salah satu di antara kita menjadi pejabat maka kita tidak sungkan untuk memberikan gaji ke orang sesuai dengan pekerjaannya.
Lain halnya dengan kehidupan yang terdapat di pesantren. Di sini lah tempat untuk kita mencari ladang amal dengan ikhlas (hakikat). Karena tidak semua pekerjaan itu harus dimintai gaji. Ada beberapa pekerjaan yang memang perlu digaji. Namun, tak sedikit pula pekerjaan yang lillahi ta’ala.
Keduanya merupakan hal yang penting, jangan sampai terbalik. Di lingkungan kampus atau kerja memberlakukan hakikat sedangkan di pesantren dengan memakai sistem syariat. Kita harus bijak dalam menentukan mana saatnya kita harus meminta imbalan dan mana kondisi kita perlu beramal dengan ikhlas.
Sebagai contoh seorang anak merawat bapak dan ibunya yang sudah lanjut usia. Kemudian dia berdoa meminta imbalan atas amal yang dilakukan dalam merawat kedua orang tuanya. Dia meminta kepada Allah Swt. agar diberikan kehidupan yang berkah.
Secara syariat perbuatan yang dilakukan anak tersebut tentu tidak bermasalah. Justru ketika kita tidak meminta imbalan atas amal yang kita lakukan maka hal ini bisa berpeluang memunculkan perasaan syirik pada diri kita. Namun, perlu kita ingat juga bahwa adanya hakikat itu memiliki tujuan agar membuat kita rendah hati. Hakikat ada guna menunjukkan kepada manusia bahwa manusia itu tidak memiliki apa-apa, karena sejatinya semua milik Allah Swt.
Penciptaan Makhluk dan Amal
Allah swt menciptakan makhluk bersamaan dengan diciptakannya amal. Seperti yang sudah dijelaskan Allah Swt. melalui Qs. Ash-Shafat ayat 96:
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Ayat di atas sudah jelas disampaikan bahwasanya Allah menciptakan makhluk itu beserta dengan apa yang diperbuat, yakni amalnya. Inilah yang dianut oleh Ahlussunnah wa al-Jamaah, berbeda dengan Muktazilah yang mengklaim bahwa amal itu diciptakan oleh manusia sendiri. Lantas, timbul pertanyaan, jika memang perbuatan kita sudah diciptakan Allah, maka atas dasar apa kita akan diberi pahala?
Ahlusunnah wa al-Jamaah berpendapat bahwa kita akan diganjar pahala atas dasar niat kita ketika akan melakukan amal. Niat baik kita untuk beramal itu sudah dihitung pahala oleh-Nya. Oleh karena itu, orang yang punya niat baik maka apa yang akan dilakukannya juga akan baik.
Baca juga: Kajian Kitab Al-Hikam: Hikmah ke-121
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pesan moral yang bisa diambil antara lain:
- Jangan meminta ganti atas amal yang diberikan
Allah Swt. menjelaskan dalam Q.S. Ali Imran ayat 188:
لَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوا۟ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟ فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ ٱلْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.
Hikmah 122 mengajarkan kepada kita agar sebagai manusia tidak lantas menjadikan kita orang yang transaksional. Artinya jangan sampai mudah menerima tanpa imbalan dan jangan meminta secara cuma-cuma. Apabila kedua hal ini dilanggar, maka akan menyebabkan wibawa seseorang akan turun.
- Jangan peduli dengan imbalan
Pelajaran lain yang bisa diambil dari hikmah 122 ini yaitu sebagai manusia kita tidak boleh fokus pada imbalan yang diberikan. Walaupun secara syariat hal ini tidak disalahkan, akan tetapi Hikam mengajarkan agar kita menjadi manusia yang istikamah. Oleh karena itu, orientasinya bukan pada imbalan melainkan hanya menjalankan amal kebaikan saja. Cukuplah kebaikanmu pada Allah Swt. dinisbatkan dari Allah Swt. kepadamu.
#Resume K.H. Muhammad Yusron Shidqi, Lc. MA.
Editor: Tim Jurnalis