Hikmah ke-126
مَنَعَكَ أَنْ تَدَّعِيَ مَا لَيْسَ لَكَ (مِمَّا) لِلْمَخْلُوْقِيْنَ, أَفَيُبِيْحُ لَكَ أَنْ تَدَّعِيَ وَصْفَهُ وَهُوَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟
(Allah) melarang mengklaim (mengakui) sesuatu milik sesama yang bukan milikmu.
Lantas apakah boleh kamu mengkalim (mengakui) sifat Allah yang menjadi Tuhan seluruh alam (memiliki segala sesuatu)?
Islam menghargai kepemilikan, bahkan menjunjung tinggi hal itu. Sehingga sesuatu yang dimiliki orang lain, baik manfaat itu temporal (sementara) ataupun selamanya tidak boleh mengambil hak milik itu.
Contoh: ada mobil yang menjadi jaminan, digadaikan selama 1 bulan. Sepakat mobilnya tidak boleh dibawa kemana-kemana (dipakai). Namun, jika dipinjamkan dan terjadi kelecetan oleh sang peminjam, berarti tanggungjawab ada di pihak peminjam sebab ialah yang harus menjaganya.
Bentuk-bentuk kepemilikan;
- Kepemilikan manfaat yang temporer sementara waktu, darurat)
Seperti halnya tempat duduk di majelis, tidak boleh ada orang yang duduk kemudian dikudeta. Yang datang duluan tidak boleh menyuruh berdiri orang yang datang belakangan. Kecuali, yang datang belakangan itu sebenarnya datang duluan kemudian ke kamar mandi. Secara syari’at, tidak boleh mengambil tempat duduk yang sudah diambil manfaat kontemporernya sebelumnya.
Sekelas Harun Ar-Rasyid saja duduk sama rata dengan murid-murid Imam Malik yang lainnya. Ketika murid yang lain hendak mengambilkan kursi untuknya, Imam Malik melarang hal tersebut dengan alasan semua sama (sebagai seorang murid). Padahal posisi Harun Ar-Rasyid saat itu adalah seorang khalifah.
Haram bagi kita untuk mengakui sesuatu yang bukan miliknya atau sudah diakui syariat. Contoh lain seorang laki-laki dilarang melamar perempuan yang sudah diikat oleh orang lain. Meski secara hukum itu belum menjadi miliknya, tapi ada hak yang diberikan syari’at dalam hal itu.
- Kepemilikan yang sangat detail
Contoh harta negara. Apa yang berhubungan dengan kepentingan negara tidak boleh dikaitkan dengan kepentingan pribadi. Harta negara punya bagiannya dan harta pribadi juga ada bagiannya.
Bukti bahwa islam itu mengakui kepemilikan, ada sebuah Riwayat mengatakan Nabi saw. tidak mau menyalati sahabat yang punya hutang. Hal itu menandakan bahwa hutang adalah masalah besar, karena ada hak orang lain yang masih harus ia pertanggungjawabkan. Jangan sampai ada hak orang lain kamu ambil, karena pasti akan dihisab di hadapan Allah.
Baca Juga: Jika Seseorang Mempunyai Hutang, Hendaknya Ia Membangun Kesadaran Dengan Sering Berdoa.
Apalagi kita merasa memilik sifat Allah contohnya kibriya’(sombong). Allah itu boleh sombong, karena memang Allah itu punya semua. Karena kita itu aslinya banyak “tidak tahunya” daripada “tahu”nya.
Firman Allah SWT. dalam QS. Yusuf ayat 107:
…اَفَاَمِنُوْٓا اَنْ تَأْتِيَهُمْ غَاشِيَةٌ مِّنْ عَذَابِ اللّٰهِ
“Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka….”
Pada hakikatnya sifat memberikan rasa aman itu hanya dimiliki oleh Allah SWT, pol-polan kita sebagai hamba ini juga cuma jadi panitia keamanan. Tapi siapa yang menjadikannya aman? Siapa yang menjadikannya makmur? Hanya Allah yang membuat sifat aman, sejahtera, dan makmur tersebut dengan perantara posisi kita.
Nyatanya, sifat tersebut sudah banyak digunakan oleh jargon-jargon masa kini. Yang lambat laun kita memang merasa bahwa kita ini orang penting, tanpa kita maka akan kacau. Itulah yang dinamakan cobaan bagi orang sholeh. Tapi itu menyalahi hukum, maka dari itu Ibnu ‘Athoillah memberikan nasehat untuk kita semua melalui kitab Hikam ini.
Kenapa kita harus merasa menjadi hamba dan menuhankan Allah SWT (beragama)? Supaya tidak menyembah yang tidak memiliki dunia ini. Karena secara fitrah tiap manusia punya hubbutta’dzim (perasaan mengagungkan sesautu yang kita anggap besar). Maka dari itu Nabi saw. memerintahkan tafakkaruu likholqillah, (berfikirlah terhadap ciptaan Allah). Mengapa demikian? Agar kita bisa merasakan seberapa agung Tuhan kita.
Lantas kenapa harus beragama Islam? Supaya tidak salah menuhankan terhadap sesuatu yang tidak berkontribusi dalam penciptaan dunia. Ada orang melahirkan dan tidak, untuk memberitahu bahwa alam sendiri tidak bisa menentukan itu semua. Sehingga semua hal itu menunjukkan bahwa Allah lah Yang Maha Agung serta Kuasa mengatur alam ini. Kita beragama untuk menetapkan siapa yang layak disembah.

Allah sendiri tidak peduli kita mau menyembahnya atau tidak. Bahkan, Allah dengan mudah akan mengganti kita semua dengan orang-orang yang memang dipilihnya jika kita dianggap tidak layak. Maka dari itu bersyukurlah kita yang ditakdirkan menjadi hamba-Nya, yang hidup tinggal memperjuangkan syariat dan bersyukur atas semua nikmat-Nya.
Allah memberikan kita musibah supaya kita bersabar. Jika kita mampu bersabar maka dosa kita akan gugur, sehingga menghadap kepada-Nya sudah tidak ada dosa.
Mintalah kepada Allah diberi kelancaran dalam segala urusan kita, terutama posisi kita sebagai hamba yang sedang menuntut ilmu. Jangan mudah mendengar omongan orang, karena itu adalah cara setan membuat kita untuk pesimis dan akhirnya tidak meneruskan niat baik kita.
Sekalipun kita memang hamba yang banyak berbuat dosa, tapi tidak ada salahnya kita terus mendekat dan berdoa kepada Allah SWT. Setidaknya selalu ada himmah pada diri kita untuk terus memperbaiki diri. Yang penting jangan dibalas pula dengan keburukan.
Ketika ada kesempatan untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, gunakanlah walaupun itu sifatnya transaksional. Setiap satu step kita mendekat kepada Allah maka Allah akan berlari mendekat kepadamu. artinya rahmat Allah itu datang lebih cepat dari pada amal kita. Maka kalu kita punya amal sedikit jangan malu, karena meski amal kita sedikit, Allah akan memberi rahmat yang besar.
Jadi tidak perlu berubah terlalu banyak, satu langkah kamu berubah itu akan menjadi progres dimana Allah akan mempercepat kebaikan itu. Kemudian satu langkah itu kita istikamahkan pada setiap aktivitas kita.