مَا الشَّأْنُ وُجُودُ الطَّلَبِ ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تَرْزُقَ حُسْنَ الْأَدَبِ
“Bukanlah tujuan utama itu tercapainya suatu permohonan. Akan tetapi tujuan yang utama adalah diberikannya engkau sebuah tata krama yang baik (terhadap Tuhanmu).”
Yakni sesuatu yang paling indah menurut ahli kebenaran itu bukanlah tercapainya suatu permohonan pada Allah. Tetapi ketika mempunyai hajat kepada sesuatu, tidak meminta pada selain-Nya, seperti kepada dukun, pohon, gunung, awan, kuburan. Akan tetapi, yang paling indah menurut mereka adalah engkau meminta semua kebutuhanmu kepada Allah, jangan engkau meminta kepada selain-Nya.
Ada doa yang menggunakan adab dan yang tidak menggunakan adab. Misalnya doa orang awam, mereka meminta, berdoa kepada Allah, bukan kepada dukun, kemudian gunung, pohon, tidak meminta kepada awan, kuburan, itu sudah bagus. Tetapi, kitab Al-Hikam ini adalah kitab lanjutan, kitabnya orang-orang yang salih, supaya tidak bosan salih. Maka yang dikritik menurut adalah Husnul Adab. Ibnu Athaillah tidak melarang kita untuk berdoa, tetapi setidaknya diinginkan dari kita itu berdoa dengan adab, tata krama. Karena begini, orang itu kalau sudah merasa dekat, itu kadang-kadang kehilangan etika.
Dawuh Gus Yusron kepada santrinya, “Sama kayak jenengan kalau sudah merasa dekat dengan Allah, sudah punya amal banyak, sudah merasa cukup, sudah merasa baik. Padahal, kebaikan kita itu, menurut Hikam loh ya bukan menurut saya, bukan karena kita yang baik tapi, lingkungan kita atau satu circle kita itu yang buruk, sehingga kawan kita merasa kita itu baik, karena ada pembandingnya.”
“Karena begitu kalau sudah terlalu dekat, nanti rasanya hambar, kalau sudah kehilangan adab, seperti santri lama, kemudian kok ia merasa gak euforia (seneng) kaya dulu ya? Dulu saya masuk pondok kok seneng banget, tapi kok lama-lama semakin mendekati pondok kok saya semakin jauh, bukan semakin jauh fisiknya, tapi semakin jauh adabnya, hilang adab atau etika.”
Makanya inti atau poin penting yang ingin disampaikan Imam Ghazali dalam Bidayatul Hidayah, adalah kitab yang tidak diperuntukkan untuk mualaf. Karena mualaf itu yang penting bisa baca bismillah, salatnya benar, mau bayar zakat, mau puasa, mau naik haji kalau mampu itu sudah bagus, jangan pernah dikasih kitab ini.
Walaupun judulnya Bidayatul Hidayah (Permulaan Hidayah). Karena kitab Bidayatul Hidayah ini, kitab untuk menggapai lagi hidayah yang dulu pernah singgah kemudian mulai terasa hilang. Makanya yang didirikan itu adab ke masjid, adab kepada Allah, adab kepada Nabi, adab kepada sesama, adab makan, adab tidur. Kenapa kok adab? Agar menumbuhkan kembali, mengingatkan kembali bahwa kita yang sudah dekat dengan Allah itu perlu beradab supaya mendapat tambahan hidayah.
Ketika seseorang itu kehilangan etika kepada Allah, dia bukan kehilangan agamanya, dia bukan kehilangan ilmu fikihnya, tapi dia kehilangan etikanya dan rasa butuhnya kepada Allah. Mafhum mukholafahnya, kita harus mempertahankan adab kepada Allah, mempertahankan perasaan butuh kepada Allah.
Dalam Al-Quran berkali-kali disebutkan seperti peristiwa ini, ada orang di atas perahu. Kemudian di dalam perjalanan itu ada badai besar, lalu dia doa panjang lebar, khusyuknya luar biasa, tetapi setelah sampai sama Allah. Mengapa begitu? bukan karena dia tidak mengerti Allah itu Tuhannya, bukan karena akidahnya, bukan pula karena dia tidak mengerti caranya berdoa. Tetapi yang salah atau yang kurang adalah dia mulai kehilangan etika dan perasaan butuh kepada Allah.
ما طَلَبَ لكَ شَيْءٌ مِثْلُ الاضْطِرارِ، وَلا أَسْرَعَ بِالمَواهِبِ إلَيْكَ مِثْلُ الذِّلَّةِ والافْتِقار
Kamu tidak akan berdoa seperti biasa, sebagaimana kamu berdoa ketika butuh kepada Allah. Kita harus mengakui kalau lagi butuh sama Allah itu doanya kenceng karena lagi kepepet. Di dalam Al-Quran disebutkan ada ayat, yang ketika orang itu lagi ga butuh, itu lupa sama Allah, tapi kalau lagi butuh, lagi dicoba, lagi kepepet, itu doanya ذو دعاء عريض , itu doanya panjang lebar, عريض itu (lebar), bukan طويل (panjang).
Maka, Ibnu Athaillah melihat ini, bagaimana supaya orang-orang yang sudah dekst kepada Allah tidak kehilangan adab, menjaga perasaan butuh kepada Allah.
وَلا أَسْرَعَ بِالمَواهِبِ إلَيْكَ مِثْلُ الذِّلَّةِ والافْتِقارِ
Dan tidak ada yang lebih cepat dari sesuatu untuk mendapat mauhibah mawahin adalah pemberian Allah yang mulia, untukmu seperti perasaan yang rendah diri di hadapan Allah, tidak mengapa rendah diri dihadapan Allah merasa paling banyak dosa, yang tidak boleh ialah rendah diri di hadapan manusia.
Nah, itulah kemudian pentingnya ilmu tasawuf di sini. Ada penyakit-penyakit yang harus diselesaikan dengan ilmu akidah. Ada penyakit-penyakit yang harus diselesaikan dengan ilmu syariah, ada juga penyakit-penyakit yang harus diselesaikan, diobati dengan ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jangan salah ambil obat, kalau salahnya di ilmu syariahnya diberikan ilmu fikih. Kalau salahnya di akidahnya diberikan ilmu akidahnya, tapi kalau masalahnya muncul dari kehilangan adab, maka belajar yang namanya ilmu tasawuf.
Oleh karena ilmu tasawuf itu tidak diberikan kepada mualaf, tapi kepada orang shalih yang kemudian sudah kehilangan rasa, mulai hambar bersama Allah, ngajinya sudah mulai hambar, salatnya, puasanya sudah mulai hambar, kemudiaan taatnya sudah mulai hambar, hanya menunaikan rutinitas, setiap harinya. Ia merasa begitu-gitu saja, padahal yang dilakukan adalah kebaikan, amal-amal yang baik, tapi kok tidak ada rasanya, tidak membekas di hati, itu karena tidak dihayati dan sudah mulai kehilangan adab kepada Allah. Nah, terus bagaimana meningkatkan etika, ialah dengan menunjukkan atau mengingat-ngingat rasa butuh kita kepada Allah.
Baca juga: Kajian Kitab Al-Hikam: Hikmah 122
Konklusinya, santri yang baik, ustad yang baik itu, adalah yang menjaga perasaan butuh, karena semakin kita tidak butuh Allah, maka hidup kita akan semakin hambar, atau bahkan semakin pahit. Ketika disuruh salat rasanya pahit, disuruh nderes kok rasanya pahit, mengapa karena merasa ga butuh. Tapi di satu sisi mengapa kok terkadang kita ngaji itu lagi kuat, lagi semangat, lagi seneng sampai bisa meneteskan air mata, terkadang sampai menangis, itu mengapa? Karena pada saat itu kita sedang merasa butuh dengan Allah. Maka, pertahankan rasa butuh kepada Allah. Ketika kita kurang semangat berarti kita mulai kehilangan rasa butuh kepada Allah. “Kalau sampean butuh kepada Allah, tolong tunjukkan kalau sampean butuh kepada gusti Allah,” dawuh Gus Yusron.
#Resume Ngaji Ahad K.H. Muhammad Yusron Shidqi, Lc. M.A