Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam; Menyongsong Pesantren yang Sehat Jiwa dan Raga

foto seminar kesehatan mental
Al-‘Aql as-Salîm fî al-Qalb as-Salîm; “akal yang sehat terletak pada hati yang sehat”.

Era revolusi industri 4.0 menuju revolusi industri 5.0 ini ialah era di mana digital economy dan artificial intelligence semakin berkembang. Akan tetapi, menurut sumber data, kematian akibat bunuh diri justru lebih banyak jumlahnya apabila dibandingkan dengan kematian akibat wabah covid-19 lalu. Kasus-kasus tersebut kebanyakannya diakibatkan oleh kesehatan mental yang terganggu.

Kesehatan mental merupakan ilmu baru dalam psikologi, karena psikologi bermula dari konsep psikoterapi. Asumsi psikologis terhadap kondisi kesehatan ada tiga: psikoanalisis (manusia sakit), psikobehavioristik (manusia netral), dan psikohumanistik (manusia sehat). Kesehatan terbagi menjadi empat bagian, yaitu bio, psycho, socio, dan spiritual. Dalam hal ini, kita berfokus pada pembahasan kesehatan psycho.

Dalam pola kesehatan mental (psycho), dilakukan dua pendekatan, yaitu 0 ke negatif (simptomatis) dan 0 ke positif (penyesuain diri, pengembangan diri, dan religius). Orang yang sehat adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan cepat tanpa kehilangan identitas diri. Salah satu soft skill yang dimilikinya adalah mampu menyesuaikan diri dengan baik. Kemudian, orang yang sehat adalah orang yang mengetahui tentang dirinya sendiri dan bagaimana cara dia mengembangkannya, menjadikan potensi berkembang menjadi kompetensi. Dan yang terakhir, orang yang sehat adalah orang yang mengetahui tentang ajaran agamanya dan mampu melaksanakannya.

Baca Juga: Substansi Salat dalam Membentuk Kepribadian Berkarakter

Selain pola dalam kesehatan mental, kita perlu mengetahui konsep dasar kesehatan mental. Pertama, tidak hanya bicara apa adanya (netral etik) tetapi juga bagaimana seharusnya (sarat etik). Contohnya dalam perilaku LGBT. Kedua, menggabungkan pendekatan persuasif-normatif. Contohnya dalam kasus narkoba. Ketiga, normanya dari penelitian empirik (syahadah) dan metaempirik (gaib) sehingga derajat validitasnya ilmiah dan supra ilmiah. Contohnya terapi wudu dan salat tahajud. Terapi dengan wudu untuk penyakit lupa, marah, dan gila yang dibuktikan dengan foto aura dan alat kedokteran lainnya. Sedangkan salat tahajud dapat memberikan imun pada penderita jantung. Keempat, bernilai ibadah berikut syarat-syaratnya, seperti adanya kesadaran (al-‘aqil) serta tidak boleh bertentangan dengan akidah, syariat, dan akhlak. Contohnya hipnoterapi. Kelima, terdapat hikmah dan berkah ilahiah. Intinya, bukannya harus sembuh, tetapi harus mengambil hikmah dari sehat atau sakit.

Asumsi dasar kesehatan mental dalam Islam bahwa manusia diciptakan dalam kondisi fitri (suci, bersih, dan sehat) yang telah digariskan oleh Allah Swt. Manusia terlahir dalam kondisi sehat, karena fitri citra aslinya. Kesehatan mental identik dengan qalb salîm atau salamat al-qalb. Maka dari itu, akal/pikiran yang sehat terdapat pada jiwa/hati yang sehat pula. Kesehatan mental dalam Islam diartikan ketika jiwa merasa tenang dan tenteram dalam menjalankan ibadah kepada Allah Swt., sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Oleh: Prof. Dr. Abdul Mujib, M. Ag., M. Si.

Pewarta: Khoirotul A’yun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.