Kiai Hilmi Sebut Puasa Arbain Untuk Melatih Keikhlasan

Depok, walisongoonline.com  – Untuk meningkatkan dan menginternalisasikan nilai-nilai Al-Qur’an serta teori-teori yang diperoleh selama perkuliahan dan dirosah, Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam mempunyai program Puasa Arbain. Program ini menjadi rutinitas wajib bagi mahasiswa/i semester 5 yang sebelumnya telah menyelesaikan tasmi’ 25 juz.

Ketua STKQ, Dr. Subur Wijaya, M.Pd.I menyampaikan bahwa STKQ Al-Hikam merupakan salah satu kampus yang menanamkan nilai spiritualitas tinggi, termasuk melalui riyadhoh. Hal ini disampaikan saat Iftitah Puasa Arbain pada Selasa31/12/2024.

“Kalau dalam konsep Abah Hasyim, proses tarassukh ini adalah perpaduan antara intelektualitas dan spiritualitas yang melahirkan ulul albab, kemudian diterapkan dalam riyadhoh ilmiah,” jelas Ketua STKQ.

Baca Juga: Ziarah Arbain 2024, Kunjungi Para Wali Se Jawa Barat

Adapun kegiatan Puasa Arbain ini dipimpin oleh Mursyid Thariqah Qadiriyah Al Arokiyah, KH. Hilmi As Shidqi Al Aroky. Menurutnya tujuan dari Puasa Arbain adalah untuk memperoleh nur atau cahaya. Sebagaimana disebutkan dalam risalahnya Imam Al-Ghazali. Ia menyebut bahwa ilmu laduni diperoleh melalui penyempurnaan pembersihan jiwa. Hal ini sejalan dengan QS. Asy-Syams ayat 7:

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ


“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya.”

Dalam tazkiyatun nafs, atau proses pembersihan jiwa, nafsu harus dikendalikan. Dalam ilmu tasawuf, terdapat tujuh tingkatan nafsu, yaitu nafsu ammarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radhiyah, mardhiyah, dan kamilah. Adapun untuk memperoleh cahaya tarassukh melalui tiga tahap:

  1. تحسن جامع العلوم

Melalui perkuliahan, dirosah, dan ngaji tafsir Jalalain.

  1. رياضة صديقة ومقاربة

Sudah diterapkan secara umum, namun belum spesifik seperti Puasa Riyadhoh.

  1. تفكر

Ilmu dapat diperoleh melalui tafakur atau tadabbur Al-Qur’an.

Selain itu, KH. Hilmi menjelaskan bahwa proses pengamalan ilmu juga melibatkan pembelajaran, yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai taqwa.

Puasa 40 hari ini menekankan pentingnya keikhlasan, karena puasa merupakan amalan yang paling mendekati sifat ikhlas. Secara historis, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad juga menjalani puasa selama 40 hari. Angka 40 ini diambil dari berbagai peristiwa penting, seperti proses perubahan diri manusia dan penciptaan alam

KH. Hilmi menekankan bahwa proses tarassukh sangat penting untuk menjiwai nilai Al-Qur’an dan disiplin ilmu lainnya. Namun, hal ini tak akan tercapai tanpa rahmat Allah, yang hanya diperoleh melalui keikhlasan. Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nūr ayat 40:

وَمَنْ لَّمْ يَجْعَلِ اللّٰهُ لَهٗ نُوْرًا فَمَا لَهٗ مِنْ نُّوْرٍ

“Siapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikit pun.”

Sebagai penutup, KH. Hilmi berharap proses ini dapat dilakukan dengan ikhlas sehingga Allah menampakkan anugerah-Nya melalui tindakan maupun ucapan.