الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta alam. Dengan-Nya kita meminta pertolongan dalam segala urusan dunia dan akhirat. Selawat dan salam semoga tercurah untuk seorang utusan yang paling mulia Nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan semua sahabatnya serta kepada umatnya hingga akhir zaman.
Para hadirin yang dimuliakan Allah subhanahu Wata’ala
Apapun bentuk kebajikan yang telah dilakukan pasti selalu ada orang yang memuji dan ada yang mencela. Begitulah sikap manusia yang tak perlu lagi ditanya. Dapat kita ambil contoh -misalnya- apa yang dianggap si A baik belum tentu dianggap baik oleh si B. Apa yang dianggap baik oleh si B, belum tentu baik pula menurut si C. Itulah karakteristik manusia yang selalu berbeda dan tak pernah sama. Lantas, mengapa kita masih berharap keridaan mereka yang akan berujung kecewa?
Dikisahkan dalam kitab Nafhu ath-Thib karya Syihabuddin al-Muqriy, ada lelaki bijak yang mempunyai seorang anak. Suatu hari si anak berkata kepadanya, “Ayah, mengapa orang-orang mengkritikmu dalam banyak hal yang engkau lakukan? Bila engkau tinggalkan berbagai hal itu, niscaya engkau akan terbebas dari kritikan mereka.”
Sang ayah pun menjawab, “Wahai anakku, engkau masih terlalu muda dan belum banyak pengalaman. Keridaan seluruh manusia adalah sebuah angan-angan yang mustahil dicapai. Akan kutunjukkan padamu buktinya.” Sang ayah yang sangat mengerti perasaan anaknya ini membawa sang anak ke kandang keledai yang mereka miliki, kemudian berjalan keluar membawa keledai bersama.
Dalam perjalanan, sang anak dan ayah tidak menaiki keledai yang mereka miliki. Orang-orang yang berada di sekitar mereka berkata, “Punya keledai kenapa tidak ditunggangi, kan sia-sia punya keledai jika tidak dapat ditunggangi.” Kemudian sang ayah menyuruh anaknya untuk menunggangi keledai, sedangkan sang ayah tetap berjalan di samping keledai. Keduanya kembali berjalan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan orang yang berkata, “Sungguh anak yang durhaka, ayahnya disuruh berjalan sedangkan ia menunggangi keledai.” Sang ayahpun tersenyum, lalu ia menyuruh anaknya untuk turun dari keledai, agar ia apat menggantikan anaknya menunggangi keledai. Melihat hal ini, orang yang bertemu mereka berkata, “Ayah macam apa ini, anak disuruh berjalan sedangkan ia asyik-asyik menunggangi keledai.” Sang ayahpun kembali tersenyum, kemudian ia menyuruh anaknya untuk naik ke atas keledai, agar dapat menunggangi keledai bersama-sama. Keduanya berjalan bersama keledai yang mereka tunggangi. Melihat hal ini, orang yang bertemu mereka berkata, “Keledai cuma sekecil itu dinaiki oleh dua orang, kasihan keledainya.” lalu keduanya turun sembari berjalan menuntun keledai itu. Di tengah perjalanan, orang-orang kembali lagi berkata, “Semoga Allah tidak mengaruniakan kemudahan kepada mereka. Untuk apa mereka membawa keledai, bila tidak ditunggangi?!”
Usai menerima beragam celaan dari berbagai orang yang mereka temui, sang ayah kembali tersenyum dan berkata kepada anaknya, “Anakku, bukankah engkau telah mendengar seluruh ucapan mereka? Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari kritikan orang dalam kondisi apa pun.”
Para hadirin rahimakumullah
Dari kisah ini, kita dapat ambil pelajaran berharga bahwa kita tak pernah dapat bebas dari segala bentuk kritikan dan hinaan. Malah berapa pun kebaikan dan usaha yang dilakukan justru hanya akan menambah tangisan dan penderitaan selama kita masih mengharapkan pujaan dan terhindar dari hinaan. Dengan demikian, untuk apa kita masih mengharapkan keridaan manusia di balik apa yang telah kita kerjakan.
Selama yang menjadi orientasi kita adalah pujian justru hanya akan menjadi sumber kekecewaan dan kemaksiatan. Sering kali ketika pujian dan sanjungan yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi yang dibayangkan, lalu membuat kita jatuh, tumbang, dan bersedih. Bahkan tak jarang, keinginan berbuat baik pun terhenti hanya karena tak ada orang yang menghormati dan memuji. Kemudian, dengan relanya kita meninggalkan kebajikan lalu beralih melakukan kemaksiatan hanya demi kembalinya pujian, sanjungan, serta imbalan. Maka secara tidak sadar, kita telah terperangkap dalam jurang kemaksiatan karena beramal hanya untuk manusia bukan Allah semata.
“Apakah karena tak ada orang yang mengucapkan terima kasih membuat kita berkecil hati? Ataukah hanya karena tak ada orang yang menghormati membuat kebaikan kita berhenti? Apa ada yang salah dan harus dikoreksi?”
Mungkin kita harus kembali berkaca dan perbaiki diri. Cibiran, celaan, dan komentar dari para hatters bukanlah suatu hal yang harus kita tanggapi. Apalagi ketika kita yakin bahwa kita sedang berada dalam kebaikan dan rida Sang Ilahi.
Bukankah Nabi Sang Teladan terbaik, yang dijuluki ‘manusia bukan seperti manusia‘ — karena saking luhur akhlak dan budi pekertinya — ternyata tak bisa meraih keridaan manusia seutuhnya. Mulai dari lahir hingga wafat bahkan hingga sekarang, selalu saja ada yang tak hentinya menghina, menghujat, bahkan berniat membunuhnya.
Tapi, apakah lantas beliau lalu berhenti dalam berdakwah dan mengajak berbuat kebaikan? Tentu tidak, malah sebaliknya. Setiap orang yang pernah berbuat buruk dan menyakiti hatinya malah dimaafkan dan didoakan kebaikan. Dakwah dan amar makruf tetap beliau kerjakan bukan ditinggalkan. Hal demikian dikarenakan yang menjadi orientasi Nabi ketika melakukan kebajikan adalah untuk Allah semata bukan supaya manusia menyanjung dan memuja.
Coba kita perhatikan apa yang pernah didawuhkan Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
إِنَّكَ لَا تَقْدِرُ أَنْ تُرْضِيَ النَّاسَ كُلَّهُمْ ، فَأَصْلِحْ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللَّهِ ، ثُمَّ لَا تُبَالِ بِالنَّاسِ”
Anda tidak akan mampu mendapatkan rida semua manusia, maka perbaikilah hubunganmu antara dirimu dengan Allah, dan tidak usah peduli dengan ucapan orang-orang.”
Dalam dawuhnya yang lain, beliau juga mengatakan.
رِضَا النَّاسِ غَايَةً لَا تُدْرَكُ
“Rida manusia adalah hal yang mustahil dicapai”.
Melalui dua ungkapan ini, Imam Syafi’i ingin menasehati kita agar jangan kita gantungkan harapan kita kepada manusia yang lemah dan tak berdaya, tapi gantungkan harapan kita kepada Allah Yang Maha Kuat dan Maha Kaya. Tak perlu peduli dari komentar mereka yang tak berdasar tapi perhatikanlah ketika rida Allah tak dapat kita gapai.
Oleh karenanya, berhentilah berlelah-lelah mencari penilaian manusia yang melelahkan, sebab pada akhirnya setiap orang memiliki pandangannya masing-masing terhadap kita. Malah jika diteruskan hanya akan berujung menderita dan kecewa. Cukuplah dengan rida Allah Swt sebagai hal yang paling utama. Sungguh mencari rida manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tergapai. Sedangkan rida Allah Swt adalah destinasi yang pasti sampai.
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا أَسْأَلُك رِضَاك وَالْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِك مِنْ سَخَطِك وَ النَّارِ
Semoga kita dijauhkan dari golongan orang-orang yang beramal hanya mengharap keridaan manusia dan Allah permudah kita dalam meraih rida dan surga-Nya.
Amin Ya Rabbal Alamin
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Editor: Tim Jurnalis