Menelusuri Nilai-Nilai Islam di Era Society 5.0 Serta Dampaknya

Ciri khas era informasi saat ini adalah sosiosfer atau pergeseran lingkungan komunikasi sosial. Pada masa lalu, tokoh-tokoh seperti guru, kiai, ulama, pendeta, birokrat, dan politisi memiliki kontrol besar sebagai agen sosialisasi. Namun, dalam era saat ini, peran sosialisasi tradisional telah digantikan oleh media komputer dan smartphone.

Kemajuan teknologi, utamanya kecerdasan buatan telah mempermudah semua aspek, termasuk bidang agama. Sejauh ini, Indonesia telah memanfaatkan AI dalam mempermudah proses peribadatan. Seperti aplikasi yang berisi kitab Al-Qur’an, menentukan arah kiblat, menginformasikan waktu shalat, sampai aplikasi yang menyediakan informasi terkait sejarah dan hukum-hukum Islam. Bahkan, teknologi telah mengeluarkan AI Chatbots Pemberi Fatwa. Kemunculan aplikasi ini dilatarbelakangi karena adanya serangan pertanyaan yang kerap kali muncul pada waktu tertentu. Seperti pada bulan Haji. Oleh karena itu, AI mengeluarkan inovasi Chatbots Pemberi Fatwa atau dalam bahasa lain Sistem Automated QA.

Sistem Automated QA dilatih dengan data-data berupa kasus tanya-jawab seputar keagamaan (fatwa) yang pernah diberikan oleh Mufti di masa lalu. Pertanyaan yang datang berikutnya akan dijawab oleh sistem secara otomatis dengan melihat histori tanya-jawab yang telah disimpan di dalam database yang memiliki tingkat kesamaan (similarity) latar belakang penanya dan redaksi pertanyaannya.

Setelah proses training selesai, sistem akan diuji dengan memasukkan sebuah pertanyaan, kemudian sistem akan mengeluarkan fatwa. Mufti perlu memberikan fatwa lagi jika kasus yang diberikan oleh pengguna merupakan kasus baru yang belum pernah ada dalam database. Fatwa atas kasus baru tersebut juga akan dilatihkan kembali ke sistem sebagai knowledge baru, sehingga di masa depan jika ada kasus serupa yang ditanyakan, sistem dapat memberikan fatwanya.

Selain itu, AI juga menyediakan sistem untuk otomasi qiyas. Hal ini erat kaitannya dengan sistem CBR (Case Based Reasoning), yaitu suatu metode yang digunakan dalam melakukan sebuah perancangan sistem pakar. Artinya, sistem ini melakukan pengambilan keputusan dari kasus baru yang dijalankan berdasarkan solusi dari kasus sebelumnya.

Konsep yang terdapat pada CBR adalah dengan menemukan sebuah ide yang akan digunakan dalam melakukan pengalaman yang telah terdokumentasi dalam menyelesaikan suatu masalah baru. Berdasarkan cara kerjanya, maka CBR dapat dimanfaatkan guna membangun sistem cerdas untuk mengotomasi qiyas dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, Membangun datasets berupa kumpulan al-ashl, hukm al-ashl dan ‘illat kemudian merepresentasikan dan menyimpannya dalam sebuah database komputer sebagai original cases.

Kedua, Merancang dan mengimplementasikan sebuah algoritma untuk melakukan proses retrieve berdasarkan tingkat similarity ‘illat antara far’ (new case) dengan al-ashl (original case).

Ketiga, Reuse yaitu menerapkan hukm al-ashl pada far’ (hukm far’).

Keempat, Revise yaitu merevisi hukm far’ yang lebih sesuai dengan kasus far’. Hal ini dapat terjadi jika ada penemuan ‘illat baru bagi far’ yang berbeda dengan ‘illat ashl.

Kelima, Retain yaitu menyimpan hukm far’ menjadi al-ashl. Hal ini, berdasarkan pendapat Imam Al-Isnawi bahwa hukm far’ dapat menjadi rukun Qiyas baru. Oleh karena itu, Program AI Otomasi Qiyas dapat membantu para ulama dalam melakukan Qiyas dengan lebih cepat. Selain itu, program ini juga dapat menjadi media pembelajaran Qiyas bagi para pelajar maupun mahasiswa.

Akan tetapi, dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan AI seperti yang penulis sebutkan di atas telah menuai kontra dari PBNU. Mengutip dari laman Liputan6.com. Bahwa PBNU telah mengharamkan umat Islam menggunakan AI sebagai rujukan mencari fatwa. Perihal tersebut dipertegas oleh Kiai Hasan saat Jumpa Pers di Kompleks Asrama Haji Jakarta Timur, Selasa (19/9/2023).
“Keterkaitan dengan kecerdasan buatan berkaitan dengan isu yang dibicarakan mengenai izin untuk berkonsultasi dengan Al. Dalam konteks ini, sebagai acuan atau panduan. Secara ringkas, tindakan tersebut dilarang atau diharamkan. Kecerdasan buatan belum dapat dianggap sebagai objek yang dapat diminta fatwa, karena kebenarannya belum dapat dipastikan.” Kemudian beliau juga menambahkan, “Apalagi AI mayoritas diproduksi oleh perusahaan milik asing yang basisnya non-muslim.”