Menelusuri Nilai-Nilai Islam di Era Society 5.0 Serta Dampaknya

Selain Indonesia, di Jepang misalnya umat Buddha mulai menggunakan robot pendeta karena dianggap efektif dan efisien. Robot yang dimaksud yaitu robot pendeta Humanoid Peppa yang dikemas dengan pakaian peribadatan. Selain membantu beribadah di Kuil, robot pendeta Humanoid Peppa juga menawarkan jasa layanan upacara pemakaman dengan harga yang relatif lebih murah yaitu US$ 462, jika dibandingkan dengan seorang Pendeta manusia yang dengan biaya US$ 2.232 namun memiliki beban tugas yang sama.

Di samping itu, Jepang juga mengeluarkan Pendeta robot yang bernama Mindar. Mindar berada di Kuil Kodai-ji di Kyoto yang memiliki tugas utama memberikan ceramah kepada khalayak yang berkunjung ke kuil tersebut. Mindar diciptakan dengan persona dewa pengampunan Buddha. Dengan jenis ceramah yang mengusung tema kebijaksanaan seperti berkutat seputar tema bahaya hawa nafsu yang berlebih, kemarahan, dan ego. Begitu juga, Mindar dapat melakukan gerakan tubuh serupa orang yang sedang beribadah, seperti menggenggam tangan dan menunduk untuk berdoa. Tujuan utama diciptakannya Mindar ialah mengajak para milenial untuk lebih rajin datang ke tempat beribadah serta mampu berinteraksi dengan kepercayaannya.

Kendati demikian, sistem AI yang diterapkan dalam aspek agama dapat mempermudah dalam proses peribadatan. Namun, hal ini akan memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam kegiatan ibadah manusia. Seperti hubungan jamaah, pemuka agama, dan Tuhan akan ikut berubah. Otoritas pemuka agama bisa berkurang bahkan hilang, secara otomatis status sosial sebagai manusia berhati mulia, budiman, dan bermoral, perlahan-lahan berkurang atau bisa hilang. Akibatnya, kepercayaan kepada pemuka agama perlahan bisa terkikis.

Di sisi lain, pemuka agama yang peranannya sebagai perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi lambat laun akan mengalami degradasi moral. Hal ini karena, ilmu agama yang baik ialah ilmu yang diajarkan secara langsung, baik secara musyafahah dan juga musyahadah. Artinya, adanya hubungan kontak langsung (tatap muka) antara pengajar dan yang diajar. Akan tetapi, metode ini tidak bisa dilakukan oleh AI yang hanya sekadar bisa memberikan informasi tidak secara lebih.
Sementara itu, para ulama tidak hanya memberikan informasi. Melainkan etika dan nilai-nilai moral juga turut ditranformasikan. Jika hal demikian diganti peranannya oleh AI, maka akan berakibat nilai-nilai moral dan etika bangsa dan masyarakat akan mengalami degradasi. Selain itu, juga dapat menimbulkan biasnya informasi terkait pemahaman agama.


Melihat situasi yang kian miris akibat dampak kemajuan teknologi, maka ini menjadi tantangan bagi generasi muda yang fungsinya sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, penulis memberikan dua rekomendasi sekaligus terobosan yang akan kami tawarkan sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Pertama, untuk meminimalisir dampak-dampak tersebut generasi muda harus melakukan diskusi, seminar, dan lokakarya perihal standar etika perspektif agama dan budaya terkait AI. Kedua, penulis ingin menawarkan sebuah produk aplikasi yang bernama Tutor Tajwid. Aplikasi ini menawarkan metode belajar Al-Qur’an yang digambarkan dengan seorang manusia yang mampu memberikan materi dan praktiknya. Serupa pembelajaran makharijul huruf.

Adapun latar belakang penulis menawarkan produk tersebut karena menimbang dan menindaklanjuti perihal yang pernah disampaikan oleh K.H. Muhammad Cholil Nafis dan Kiai Hasan Nuri Hidayatullah dalam forum diskusi kelompok terarah FGD pada Kamis (4/3) yang membahas tentang kaitan Artificial Intelligence (AI) dengan dakwah Islam. Dalam forum tersebut K.H. Cholil Nafis, menekankan kepada para dai sudah saatnya mereka mengetahui dan memanfaatkan ilmu pengetahuan modern, termasuk AI. Hal ini, diharapkan agar para dai dapat menanggulangi dampak negatif AI, sekaligus memanfaatkan AI sebagai strategi dakwah yang efektif. Misal membuat platform video berdurasi pendek sebagai media dakwah sebab video pendek akan lebih diminati dan dipahami oleh masyarakat.

Baca Juga: Menarik Disimak, Begini Cara Mengembangkan Diri Versi Al-Qur’an

Kesimpulan

Tawaran solusi pertama dari penulis ialah mengadakan diskusi, seminar, dan lokakarya perihal standar etika perspektif agama dan budaya terkait AI. Hal ini sangat penting untuk dibicarakan lebih lanjut. Sebab, kita tahu bahwa kecerdasan buatan hingga kini hanya mampu mentransmisikan informasi dengan lebih efisien, namun tidak memiliki standar moral, budaya, dan syariat agama dalam menilai suatu tindakan, juga tidak memiliki kapabilitas untuk merasakan afeksi terhadap hubungan dengan manusia. Hal ini berdampak pada pelbagai persoalan manusia yang kompleks di mana membutuhkan penilaian etika, budaya, dan agama, seperti pemanfaatan AI Chatbots dan batasan-batasannya dalam pembelajaran. Atas dasar itu, penting untuk mendiskusikan serta meregulasikan bagaimana terkait sistem etika ke dalam AI.

Kedua, Mengenai tawaran aplikasi Tutor Tajwid, penulis terinspirasi dari Kiai Hasan Nuri Hidayatullah dalam poin rekomendasi hasil Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (MuNas-KonBes) yang digelar pada 17 September 2023. Namun aplikasi ini tidak menjadikannya sebagai tujuan pembelajaran, melainkan sebagai media atau penunjang dalam pembelajaran Al-Qur’an. Apalagi di dalam pembelajaran Al-Qur’an harus ada sanad guru yang mutawatir artinya tersambung hingga ke Rasulullah Saw. sehingga guru yang ahli di bidangnya memiliki tingkat ability yang terkualifikasi. Sedangkan aplikasi ini tidak memiliki sanad yang jelas. Ia hanyalah sebuah perantara dan media yang menunjang dalam proses pembelajaran Al-Qur’an, khususnya bagi pemula.
Terkait pentingnya sanad dalam pembelajaran Al-Qur’an telah termaktub dalam mukadimah Sahih Muslim halaman 11. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang dikatakan oleh Ibnu Sirrin:

إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Imam Abu al-Husein Muslim bin Hajaj al-Naisaburi, Shahîh Muslim, 2000, h. 10)
Imam Abdullah bin Mubarak juga mengatakan :


الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad (atau sanad) merupakan bagian dari agama. Jika tidak ada isnad (sanad), pasti siapa pun dapat mengatakan apa yang dikehendaki nya.”

Bahkan oleh karena demikian pentingnya, Imam Muslim membuat bab tersendiri tentang sanad dalam pendahuluan kitab Shahîh Muslim nya, yaitu pada bab “bâbu bayân annal isnâd minad dîn—bab menjelaskan bahwa isnad adalah bagian dari agama.”
Dalam konteks kultur pesantren atau pendidikan Islam tradisional, sanad keilmuan memegang peranan sangat penting. Sanad ini menjadi penghubung yang membawa pemahaman agama yang benar dari generasi ke generasi, mulai dari generasi muridnya Rasulullah, yaitu para sahabat, hingga generasi milenial saat ini. Terutama dalam tradisi pendidikan Islam klasik, kitab yang ditulis oleh ulama juga disampaikan melalui jalur sanad, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Oleh karena itu, dengan masuknya kemajuan teknologi di bidang agama sudah sepatutnya generasi muda mampu memanfaatkannya secara optimal. Namun, perlu digaris bawahi bahwa pemanfaatan teknologi ini, khususnya Artificial Intelligence dalam aspek agama tidak menjadikannya sebagai pedoman atau landasan hukum secara mutlak. AI hanyalah sebuah media pendukung dalam proses syiar agama secara luas. Selain itu, penting sekali untuk belajar agama secara langsung kepada ahlinya yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Dengan begitu, tidak akan terjadi bias di dalam konteks pemahaman agama.

Dalam konteks syiar agama yang lebih luas, penulis mengusulkan aplikasi Tutor Tajwid sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an. Selain itu, aplikasi ini diharapkan dapat meningkatkan eksistensi dan peran umat Islam dalam menghadapi kemajuan teknologi. Namun, penulis juga menyadari bahwa kemajuan teknologi ini tidak lepas dari dampak negatif, seperti potensi degradasi moral akibat penurunan peran pemuka agama yang digantikan oleh AI. Untuk mengatasi hal ini, kami menawarkan solusi berupa penyelenggaraan diskusi, seminar, dan lokakarya dengan mengacu pada standar etika perspektif agama dan budaya terkait AI. Dengan langkah ini, diharapkan dapat mentransformasikan kembali nilai-nilai etika dan moral sesuai dengan perspektif agama.

Era ini menandai transformasi masyarakat melalui kemajuan teknologi. Terutama kecerdasan buatan (AI), yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari dan pengalaman maya.
Perspektif Islam dalam menghadapi perkembangan teknologi tercermin dalam QS. Al-Hadid ayat 25, yang menunjukkan dukungan terhadap perkembangan teknologi sebagai sarana untuk menyebarkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, pendekatan Islam terhadap teknologi tidak bersifat batas, melainkan mengharapkan pemanfaatan yang seimbang dan sesuai dengan nilai-nilai agama.

Kemajuan teknologi, terutama AI, telah memberikan dampak positif dalam memudahkan aspek keagamaan, seperti memfasilitasi peribadatan dan memberikan informasi terkait agama. Namun, penggunaan AI sebagai sumber rujukan mencari fatwa menghadapi penolakan dari beberapa pihak. Termasuk PBNU, yang menganggap bahwa kecerdasan buatan belum dapat dianggap sebagai objek yang dapat memberikan fatwa secara mutlak.

Sebagai upaya menghadapi dampak negatif kemajuan teknologi, terutama dalam aspek agama, diperlukan beberapa jal guna meminimalisir.Misalnya, mengadakan diskusi, seminar, dan lokakarya untuk menetapkan standar etika perspektif agama dan budaya terkait AI.

Selain itu, penulis juga menawarkan aplikasi Tutor Tajwid sebagai upaya meningkatkan pemahaman membaca Al-Qur’an dengan tetap menghormati tradisi sanad keilmuan dalam pendidikan agama.

Dengan demikian, sementara teknologi membawa manfaat signifikan, penggunaannya perlu diatur dengan bijak agar tidak mengabaikan nilai-nilai agama dan etika. Masyarakat, terutama generasi muda, diharapkan dapat memanfaatkan teknologi sebagai sarana dakwah yang efektif dan sekaligus menjaga nilai-nilai keagamaan dan moral dalam kehidupan sehari-hari.