Eksistensi Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam sudah tak perlu diragukan lagi. Ia merupakan wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw. guna menunjukkan umat manusia kepada jalan kebahagiaan. Di dalamnya berisi berbagai petunjuk dan pedoman hidup bagi siapapun orang yang beriman dan meyakini akan kebenarannya.
Sebagai sebuah teks, Al-Qur’an tentu perlu dipahami dan dicerna sebaik mungkin agar tiap pesan yang disampaikan bisa ditangkap. Upaya yang dilakukan untuk memahami dan menyingkap pesan dan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an inilah yang kemudian disebut dengan tafsir.
Tiap hasil penafsiran yang dilakukan oleh mufasir atau interpreter merupakan sebuah usaha agar Al-Qur’an dapat dipahami sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Dari sini, dapat diketahui bahwa autentisitas penafsiran hanya sebatas pada taraf kebenaran yang sifatnya relatif bukan mutlak. Hal tersebut dikarenakan yang menjadi tolak ukurnya adalah kemampuan mufasir. Sedangkan tiap mufasir memiliki tingkat keilmuan yang berbeda dalam menangkap pesan yang Allah sampaikan.
Urgensi Tafsir dalam Memahami Al-Qur’an
Tafsir merupakan sebuah ilmu yang sangat penting guna memahami Al-Qur’an. Penulis mengutip penjelasan K.H. Afifuddin Ad-Dimyati dalam kitabnya, Ilmu at-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu. Menurutnya, setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi dasar bahwa Al-Qur’an itu perlu untuk ditafsirkan.
Pertama, banyak ayat dalam Al-Qur’an yang bermakna mujmal (global) seperti perintah salat, puasa, dan haji. Al-Qur’an tak menjelaskannya secara rinci mengenai tata cara yang harus dilakukan dari perintah tersebut. Perincian ayat yang global itu diuraikan melalui sunah Nabi Muhammad saw. yang terlihat dari perilaku, perkataan, perbuatan, serta taqrir beliau. Metode inilah yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-riwayat (menafsirkan ayat dengan hadis).
Kedua, Al-Qur’an selain mengandung ayat yang mujmal, juga mengandung ayat-ayat yang mutasyabihat (ayat yang belum jelas lafaz dan maknanya jika langsung dipahami). Ayat tersebut jika langsung diartikan secara zahir, maka kemungkinan besar akan terjerumus pada kesalahan fatal. Untuk menyelesaikan problem tersebut hanya bisa dengan cara merujuknya ke ayat-ayat yang muhkamat (jelas dan tetap maknanya) sehingga dapat ditafsiri maknanya. Dapat kita ambil contoh di surah al-Fath: 82.
يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيهِمۡۚ
“Tangan Allah di atas tangan mereka.”
Jika dipahami secara lahiriah tentu akan bertentangan dengan prinsip akidah Ahlusunnah yang mengatakan bahwa Allah itu tak serupa dengan makhluk (mukhalafatu lil hawadisi). Walhasil, para ulama menakwilkan kata “yad” dengan makna “kekuasaan”.
Ketiga, Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad. Turunnya Al-Qur’an secara bertahap itu menyebabkan terpisahnya ayat-ayat yang membahas satu tema di beberapa surah. Untuk mengetahui korelasi antar ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan makna yang jelas diperlukan tafsir yang salah satu kaidahnya adalah munasabah.
Sebagai contoh, penyebutan darah sebagai salah satu dari aneka makanan haram (Qs. Al-Ma’idah: 3). Darah di ayat tersebut bermakna umum mencakup segala jenis darah. Melalui munasabah didapatkanlah suatu ayat yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dari darah yang haram adalah darah yang mengalir (Qs. Al-An’am: 145)
Keempat, banyak sekali ayat Al-Qur’an yang turun dilatarbelakangi oleh sebab dari suatu peristiwa dan pertanyaan (asbab an-Nuzul). Tak jarang redaksi ayat yang turun itu berbicara secara umum. Padahal jika diteliti lebih jauh, redaksi ayat tersebut merujuk pada orang tertentu yang menjadi sebab turunnya ayat. Terkadang pula sebaliknya, redaksi ayatnya bersifat khusus namun berlaku secara umum. Oleh sebab itu, perlunya meninjau kembali latar belakang di balik turunnya suatu ayat Al-Qur’an agar tidak timbul kesalahpahaman.
Dapat kita ambil contoh pada Qs. Al-Ma’idah: 93.
لَيۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ جُنَاحٞ فِيمَا طَعِمُوٓاْ إِذَا مَا ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّأَحۡسَنُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Terkesan bahwa ayat ini membenarkan seorag mukmin minum apa saja, walaupun haram, selama mereka masih beriman. Makna ini jelas salah karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Padahal, ayat ini turun menerangkan nasib para sahabat yang gemar meminum khamr. Sementara pengharaman khamr baru turun setelah mereka wafat. Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai jawaban bahwa mereka tidak dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas khamr yang telah mereka minum.