Selain empat alasan tersebut, kiranya kita juga perlu melihat sisi historis perjalanan tafsir. Sejarah mencatat bahwa kegiatan penafsiran itu sudah ada sejak Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai seorang Rasul, beliau berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) terhadap arti dan kandungan Al-Qur’an. Beliau menjadi tempat rujukan bagi para sahabat menyangkut ayat-ayat yang mereka belum pahami dan mengerti.
Dalam menjelaskan Al-Qur’an, Nabi terkadang memberikan jawaban dengan menyebutkan ayat lain (bi al-qur’an)dan terkadang pula dengan hadis (bi al-hadis). Penafsiran inilah yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma’tsur/bi al-riwayah. Keadaan ini terus berlangsung sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Rasul Saw. para sahabat tak menemukan lagi sebaik-baiknya mubayyin selain beliau. Mereka pun terpaksa melakukan ijtihad dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Proses ijtihad tidak sembarang mereka lakukan, tapi melalui para sahabat yang memiliki otoritas tinggi dalam hal penafsiran, seperti Ali bin Abi Talib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Berjalannya waktu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat itu memiliki murid-murid dari para tabiin, di kota-kota tempat mereka tinggal. Para tabiin kemudian mengajarkan kepada murid-murid mereka selanjutnya dari kalangan tabi’ tabiin. Proses transmisi keilmuan antar guru dan murid ini terus berlanjut hingga pada zaman kita sekarang.
Seiring dengan proses tersebut, persoalan dan perubahan sosial pun muncul dan berkembang. Bahkan banyak dari persoalan tersebut tak pernah terjadi di masa nabi. Kondisi demikian menuntut para mufasir melakukan ijtihad guna menjawab persoalan yang terjadi sehingga muncullah kitab tafsir yang beraneka ragam coraknya. Misalnya tafsir yang bercorak fiqih, sastra, filsafat, sains, dan lain sebagainya.
Dari sini, setidaknya dapat kita ambil kesimpulan bahwa penafsiran Al-Qur’an menempati posisi vital agar Al-Qur’an dapat dipahami dengan benar. Sebagai petunjuk (al-huda), Al-Qur’an mengandung banyak pesan dan hikmah yang jika tak ditafsirkan justru dapat membuat seorang sulit menggali pesan dan hikmah yang disampaikan. Terutama dari kalangan awam yang masih minim akan pengetahuan yang tentu tak cukup hanya sebatas membaca terjemahan semata.
Tidak dapat kita pungkiri, munculnya berbagai aliran dalam Islam, seperti Muktazilah, Khawarij, Qadariah, Batiniah, dan pemahaman radikal muncul akibat salah kaprah dalam memahami Al-Qur’an. Kurangnya ilmu sehingga memahami ayat hanya sebatas literal teks menjadi sebab munculnya berbagai aliran tersebut.
Dari sisi historis, penafsiran Al-Qur’an juga bukan merupakan suatu hal yang baru dalam ilmu keislaman, melainkan hal yang sudah mengakar sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari tradisi yang sudah ada sejak masa nubuwah dan turun temurun diwariskan hingga sekarang. Maka dari itu, keberadaan tafsir sangat diperlukan agar Al-Qur’an senantiasa memancarkan hidayah sepanjang zaman.
Referensi:
Afifuddin Dimyathi, Ilmu at-Tafsir Ushuluhu wa Manahijuhu, Sidoarjo: Maktabah Lisan Arab, 2016
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Editor: Ust. Ali Fitriana Rahmat, M.Ag.