Depok, Walisongoonline.com –
Embracing Diversity: Building Bridges in Japan
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh berbagai perbedaan, moderasi beragama bukan lagi pilihan, tetapi sebuah keharusan. Saya lahir dan tumbuh dalam lingkungan pesantren di Jawa Timur, di mana nilai-nilai keislaman yang kokoh menuntun setiap langkah kehidupan. Di pesantren, kami diajarkan tentang pentingnya sikap tawasuth (jalan tengah), tasamuh (toleransi), dan tawazun (keseimbangan). Nilai-nilai ini menjadi inti dari konsep moderasi beragama yang diajarkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, saat saya melangkah ke luar dari tembok pesantren dan memasuki dunia yang lebih luas, saya menyadari bahwa nilai-nilai ini lebih dari sekadar prinsip—mereka adalah jembatan yang menghubungkan berbagai keberagaman. Di Universitas Indonesia, pertemuan dengan teman-teman dari berbagai latar belakang agama dan budaya, menantang saya untuk menerapkan nilai-nilai moderasi ini dalam konteks yang lebih kompleks. Dalam lingkungan yang multikultural, saya menemukan bahwa moderasi bukan hanya tentang menjaga keseimbangan, tetapi juga tentang menciptakan ruang dialog yang konstruktif dan terbuka.
Saat saya menapaki kaki di Negeri Sakura untuk program pertukaran pelajar di Osaka University, rasanya seperti melayang ke dalam hamparan dunia baru yang belum pernah dijelajahi. Menjadi satu-satunya Muslimah berhijab di lingkungan yang minoritas menghadirkan tantangan yang tentu tidak mudah.
Baca Juga: Santri In The World Of Diversity: Weaving Its Tapestry (1)
Stereotip yang muncul akibat minimnya pemahaman tentang Islam dan hijab kerap menjadi bayang-bayang yang menyertai langkah saya. Banyak dari mereka yang belum pernah berinteraksi dengan seorang muslimah berhijab, menjadikan saya seperti sebuah pemandangan yang unik.
Terkadang, rasa terasing menyelimuti saya karena perbedaan ini, namun saya memilih untuk melihatnya sebagai kesempatan untuk memperkenalkan cahaya Islam dan menunjukkan bahwa hijab bukanlah penghalang untuk membangun jembatan yang positif dan konstruktif.
Saya harus bijak dalam menyeimbangkan antara menjaga keyakinan saya dan beradaptasi dengan norma-norma sosial yang berbeda. Misalnya, dalam aktivitas sehari-hari seperti makan bersama, saya harus bijaksana dalam menjelaskan tentang makanan halal dan memilih tempat yang sesuai. Tantangan ini mengajarkan saya pentingnya komunikasi yang jelas sebagai bentuk moderasi dalam praktik beragama.
Beruntung, saya dipertemukan dengan komunitas Muslim di Osaka—sebuah mosaik keindahan yang merajut berbagai latar belakang negara dalam harmoni. Di sana, saya merasakan keindahan Islam yang menyebar seperti sinar matahari pagi, menambah rasa nyaman di jiwa.
Bagian dari perjalanan yang akan terus saya simpan dengan penuh rasa syukur dan kekaguman. Seperti kenangan yang mengisi hati dengan kehangatan. Because if it is good memory, we feel like we want to keep it… to cherish it… for a very long time.
Bulan Juli lalu, Nanzan University melakukan kunjungan ke Pesantren Al-Hikam Depok, juga menjadi momen penting dalam perjalanan saya. Kunjungan ini bukan hanya sekadar pertemuan, tetapi sebuah kesempatan untuk menyelami lebih dalam nilai-nilai pesantren yang kaya akan kebijaksanaan.
Dalam kesempatan tersebut, K.H. Ahmad Yusron As-Sidqi, Pengasuh Pesantren Al-Hikam Depok, memaparkan nilai-nilai pesantren menurut K.H. Ahmad Hasyim Muzadi, yang menekankan bahwa moderasi adalah kunci utama dalam beragama.
Beliau menegaskan bahwa ekstremisme—baik dalam bentuk radikalisme agama maupun sekularisme yang berlebihan—adalah ancaman bagi kedamaian dan harmoni. Nilai-nilai tawasuth (jalan tengah), tasamuh (toleransi), dan tawazun (keseimbangan) yang diajarkan di pesantren menjadi pilar utama untuk menciptakan kehidupan yang harmonis di tengah keberagaman.
Salah satu momen yang paling menyentuh terjadi ketika seorang teman Jepang bertanya mengenai keputusan saya untuk memakai hijab dan apakah itu membuat saya merasa terasing di Jepang. Pertanyaan ini membuka sebuah jendela diskusi tentang Islam, hijab, dan pengalaman saya sebagai seorang Muslimah di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Percakapan ini seolah menjelma menjadi pelita yang menerangi ruang gelap prasangka, menunjukkan bahwa banyak dari ketidaktahuan yang ada sebenarnya berasal dari kekurangan pemahaman. Dengan pendekatan moderat dan terbuka, saya berhasil membagikan perspektif saya dan bahkan menginspirasi diskusi lebih lanjut tentang keberagaman umat beragama.
Pengalaman ini menguatkan keyakinan saya bahwa moderasi adalah cahaya yang menerangi jalan menuju pemahaman dan keharmonisan. Again, forever grateful for the chances.
