Salah satu gagasan besar berskala Internasional yang berhasil diwujudkan oleh KH. Hasyim Muzadi selama kepemimpinannya di NU adalah mendirikan ICIS (International Conference of Islamic Scholars). ICIS merupakan organisasi swadaya masyarakat, non-politik, non-etnik yang bergerak untuk membangun dan menciptakan hubungan dan kerja sama antara ulama dan cendekiawan muslim di seluruh dunia guna terwujudnya tatanan masyarakat yang damai, adil dan beradab.
Organisasi itu didirikan di Jakarta 24 Februari 2004 atas prakarsa Kiai Hasyim bersama Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negeri Indonesia yang menjabat pada waktu itu. Sedangkan surat rekomendasinya ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri.
Motif dibalik didirikannya ICIS tak bisa dipisahkan dari dua faktor. Pertama, sebagai respon atas timbulnya ketegangan politik antara Islam dan Barat akibat tragedi serangan teroris 9/11 yang meruntuhkan Menara Kembar WTC (World Trade Center) di New York, Amerika Serikat. Setelah kejadian itu, Islam dicurigai sebagai dalang dari aksi terorisme yang menewaskan hampir 3000 jiwa. Islam pun mulai dikesankan dengan isu-isu negatif yang melabelkan Islam sebagai agama yang pro terorisme dan kekerasan.
Kedua, maraknya kampanye anti terorisme yang disuarakan Amerika turut membuat ketegangan hubungan antara Islam dan Barat kian meningkat. Bahkan, ketegangan itu dirasakan hingga seluruh umat Islam di dunia termasuk Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Padahal menurut Kiai Hasyim, dua faktor di atas merupakan hasil pandangan yang salah kaprah dalam menyikapi kekerasan dan isu terorisme yang terjadi dengan mengatasnamakan Islam. Apalagi didukung dengan media massa yang berbekal dengan minimnya informasi dan observasi yang semakin kuat dan giat dalam menyebarkan isu propaganda anti Islam.
Kiai Hasyim menyadari bahwa kedua hal tersebut merupakan puncak gunung es dari tidak adanya interaksi dan komunikasi dari kedua belah pihak selama berabad-abad. Ketiadaan komunikasi tersebut mendorong semakin tepeliharanya kesalapahaman di antara keduanya.
Melihat hal demikian, maka tentu perlu adanya solusi yang menghadirkan pihak yang bisa berdialog guna meluruskan stigma negatif yang tersebar kepada masyarakat di seluruh dunia bahwa Islam adalah agama anti kekerasan dan terorisme tidak sebagaimana yang didakwakan sebelumnya. Pihak tersebut bukan hanya dari negara/pemerintah, melainkan juga dari tokoh agama dan ulama. Maka Kiai Hasyim yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU memprakarsai berdirinya sebuah organisasi yang anggotanya terdiri dari para ulama, cendekiawan muslim, pengamat dan pemerhati Islam yang diberi nama ICIS (International Conference of Islamic Scholars).
Melalui ICIS, Kiai Hasyim yang juga menjabat sebagai sekjen di organisasi tersebut berupaya untuk mengembangkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang telah diterapkan di Indonesia melalui NU sebagai citra baru Islam, membantu meredakan konflik di dunia, memperkenalkan NU ke level Internasional, serta mempromosikan Pancasila ke masyarakat dunia.
Keberadaan ICIS di dunia Internasional turut mendapat respon positif tak hanya dari kalangan muslim saja namun juga mendapat dukungan langsung dari pusat Gereja Katolik di Vatikan. ICIS pun tercatat menjadi anggota PBB sebagai organisasi nonpemerintah. Tak hanya itu, organisasi ini juga mendapat posisi yang sejajar dengan World Council on Religion and Peace (WRCP), OKI (Organisasi Kerjasama/Konferensi Islam), Liga Arab dan lainnya. Para ulama jaringan ICIS baik individual maupun instutional yang tersebar lebih dari 67 negara sudah sepakat untuk memperkuat ICIS sebagai saluran dialog tingkat domestik, nasional maupun internasional.
Terbukti dari serangkaian forum-forum yang digelar ICIS dan kunjungan ke beberapa negara Eropa telah membuat isu terorisme dapat dikendalikan meskipun tidak sepenuhnya. Selain itu, ICIS juga turut membantu dan berperan dalam penyelesaian beragam konflik, tidak hanya di negara-negara mayoritas muslim namun juga di negara minoritas muslim. Mulai dari konflik negara-negara di tingkat regional semacam Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Korea hingga yang berskala Internasional seperti di Sudan, Suriah, Lebanon, Palestina-Israel, Iran, Irak dan lain-lain.
Penulis : Muhammad Izharuddin
Editor : Ust. Ali Fitriana Rahmat, M. Ag