Berbicara mengenai Islam Nusantara, maka tidak luput dari proses dinamis nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal yang kental. Hal ini dapat dipahami bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang ramah, terbuka, dan dapat menyelaraskan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tersebar di wilayah Indonesia. Selain itu, kehadiran Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Namun, Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji (bertahap). Salah satu contoh budaya yang memiliki nilai Islam yakni tradisi malam satu Suro.
Kata “suro“ mengindikasikan sebagai awal bulan pertama pada kalender Jawa. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab yakni “asyura“ yang memiliki arti “sepuluh“. Dalam hal ini, kata tersebut menunjukkan pentingnya sepuluh hari pertama pada Bulan Muharram atau Bulan Suro. Penanggalan Jawa tersebut pertama kali digagas oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo dan diberlakukan mulai 8 Juli 1633 M. Kalender tersebut telah menggantikan Kalender Saka yang dijadikan pegangan masyarakat Jawa sebelumnya. Sistem penanggalan tersebut didasarkan pada perjalanan matahari mengitari bumi. Sedangkan penanggalan Sultan Agung tersebut didasarkan pada perjalanan bulan mengitari bumi yakni sama dengan Kalender Hijriah.
Pada tradisi Jawa setiap malam satu Suro masyarakat umunya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Hal ini dikarenakan bagi orang Jawa Bulan Suro dianggap sebagai bulan yang sakral, mulia, dan paling tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi diri. Selain itu, Islam juga menyebut bahwa Bulan Muharram merupakan Syahrullah (Bulan Allah) sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.“
Berdasarkan hadis tersebut dapat dipahami bahwa Bulan Muharram adalah bulan yang suci dan istimewa. Selain itu, penyebutan Syahrullah merupakan satu-satunya bulan yang disandarkan pada lafaz jalalah “Allah“ untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungan pada bulan tersebut. Oleh karena itu, banyak kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyambut Bulan Suro/Muharram tersebut mulai dari puasa asyura, sholawat, dan pembacaan kitab al-Barzanji. Sedangkan untuk masyarakat Jawa sendiri memiliki tradisi unik dalam menyambut malam satu Suro yakni ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab. Dalam hal ini, beberapa daerah memiliki tradisi yang beragam seperti di Solo dengan perayaannya menggunakan hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule dimana dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Adapun perayaan satu Suro di Yogyakarta yang selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Selain itu, ada tradisi Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Tradisi tersebut dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.
Dari beragamnya tradisi malam satu Suro tersebut terlihat keharmonisan antara nilai Islam dengan tradisi lokal. Beragamnya tradisi tersebut memiliki tujuan yakni sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT dan upaya memohon ampunan atas segala dosa-dosa yang telah dilakukan serta mengharapkan kehidupan yang lebih baik di tahun baru. Dalam hal ini, keharmonisan antara nilai Islam dan budaya pada tradisi malam satu Suro menjadi refleksi untuk kita sebagai generasi muda agar senantiasa melestarikan keharmonisan tersebut. Selain itu, adanya tradisi tersebut juga sebagai pengingat untuk mulai memperbaki diri sebaik mungkin dalam mendapatkan keridhoan dan berkah dari Allah SWT.
Referensi:
Isdiana. (2017). Tradisi Upacara Satu Suro dalam Perspektif Islam (Study di Desa Keroy Kecamatan Sukabumi Bandar Lampung. Lampung. Diakses: http://repository.radenintan.ac.id
Astuti, Hanum Jazimah Puji. (2017). Islam Nusantara: Sebuah Argumnetasi Beragam dalam Bingkai Kultural. Diakses: Interdisciplinary Journal of Communication
Editor: Ust. Ali Fitriana Rahmat, M.Ag.