Misteri Takdir

Media Center Al-Hikam Depok

Takdir adalah sebuah misteri yang tidak pernah terpecahkan. Sejak dahulu sampai sekarang, para ulama dan cendekiawan tidak ada yang bisa menjelaskan takdir secara rinci dan memuaskan. Semuanya sepakat bahwa pembahasan ini sepenuhnya adalah otoritas Allah, Sang Maha Tahu. Sebab, takdir merupakan masalah keimanan.

Sebagai seorang muslim, kita harus mengimani takdir dengan sepenuh hati. Kita harus meyakini dan mengimani bahwa semua hal yang terjadi, baik atau buruk semuanya berasal dari ketentuan Allah. Semua yang terjadi di dunia ini sudah tercatat di lauhulmahfuz. Bahkan, semua yang terjadi sedari awal penciptaan dunia ini sampai akhir kelak di akhirat, seluruhnya sudah rapi dan matang ketentuannya di sisi Allah SWT.

Kalau demikian, mengapa Tuhan menciptakan kita? Mengapa tidak langsung saja kita dimasukkan ke dalam surga atau neraka? Pertanyaan seperti ini sebetulnya bukanlah hal baru. Para sahabat juga pernah menanyakan hal senada kepada Nabi Muhammad saw. Namun demikian, Rasulullah saw. menjawab pertanyaan itu dengan sebuah hadis yang artinya kurang lebih, “Beramallah sebaik-baiknya, karena semuanya akan dimudahkan sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah.”

Baca juga: Abah Hasyim Muzadi: Pejuang Sejati

Patut dipahami bahwa para ulama telah berusaha memberikan penjelasan guna mempermudah pemahaman mengenai takdir. Semisal ada seseorang yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi dokter, apakah dia tiba-tiba langsung menjadi dokter? Tentu tidak! Harus ada proses atau amal yang harus terlewati. Kalau dia mau berproses, maka dia akan sampai pada tujuannya, yakni menjadi dokter. Bila enggan, maka menjadi dokter hanyalah isapan jempol semata.

Pun demikian halnya ihwal surga dan neraka. Meskipun telah ditakdirkan di mana tempat kembali—apakah surga ataupun neraka—kita tetap dituntut oleh Allah untuk berproses memperjuangkan surga dan menghindari neraka sejauh-jauhnya. Kendati demikian, takdir masih tetap menjadi misteri. Akal kita tak akan pernah sampai untuk memikirkannya. Para ulama mengajarkan bahwa yang lebih urgen dari memikirkan takdir adalah bagaimana usaha kita untuk terus meningkatkan keimanan kita terhadap qadha dan qadar Allah SWT.

Pada sebuah kesempatan kajian dengan Dr. Luqmanul Hakim Al-Azhari di Pondok Pesantren Al-Hikam Depok, ada salah satu mahasiswi yang bertanya bagaimana cara menyikapi takdir buruk yang sangat ekstrem. Sebagai contoh ada seorang wanita yang terlahir dari keluarga broken home, kesulitan ekonomi, kemudian dia juga menjadi korban pemerkosaan.

Pada kondisi buruk yang lumrah, mungkin kita masih bisa menerima apa yang terjadi. Akan tetapi, apabila kondisinya seperti yang dialami perempuan tersebut, apa yang harus kita lakukan? Ringkasnya, Dr. Luqman menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat sebuah ilustrasi berbentuk lingkaran. Keterangan yang berada di dalam lingkaran adalah segala hal yang terjadi di dunia ini, baik atau buruknya. Sementara garis yang membentuk lingkaran adalah batas ajal seseorang.

Kemudian, beliau membagi lingkaran tadi menjadi dua bagian besar. Masing-masing dari keduanya mempunyai dua pembagian lagi. Bagian pertama adalah takdir kebaikan. Takdir kebaikan ini ada dua macam, yaitu kebaikan duniawi dan kebaikan ukhrawi.

Kebaikan duniawi dicontohkan dengan nikmat yang kita dapatkan, baik berupa rezeki, kesehatan, jodoh, dan seterusnya. Lalu, kebaikan ukhrawi seperti kemudahan untuk istikamah. Keduanya adalah kebaikan di dunia. Namun, apakah keduanya pasti menjadi kebaikan di akhirat pula?

Dr. Luqmanul Hakim menegaskan bahwa ternyata tidak ada jaminan keduanya menjadi kebaikan kelak di akhirat. Adapun yang menjadi penentu adalah bagaimana respon kita terhadap dua kebaikan tadi. Kebaikan duniawi akan menjadi rahmat jika direspon dengan syukur. Sebaliknya, akan menjadi musibah atau azab apabila malah membuat kita semakin lalai dari Allah SWT.

Tak jauh berbeda, kebaikan ukhrawi juga akan menjadi rahmat jika dibarengi dengan ikhlas hanya karena Allah semata, dan akan menjadi musibah jika malah dibuat sebagai wasilah sok-sokan, riya, dan seterusnya.

Seirama dengan pembahasan kebaikan di atas, keburukan yang terjadi di dunia ini juga dibagi menjadi dua. Pertama, keburukan duniawi, contohnya terkena musibah dan sebagainya. Adapun yang kedua adalah keburukan ukhrawi, contohnya terjerumus dalam dosa-dosa yang kita lakukan.

Hal terpenting yang patut digaris bawahi adalah jika dua keburukan ini menimpa kita. Peristiwa yang menimpa ini tidak berarti kita telah kualat, apes, dan pasti masuk neraka. Tidak, tidak sama sekali! Adapun yang menentukan konsekuensi akhirnya, baik surga ataupun neraka adalah respon kita ketika menanggapi keburukan-keburukan tersebut.

Keburukan duniawi yang menimpa kita akan menjadi rahmat kelak di akhirat seandainya kita mampu menanggapinya dengan sabar, tabah, dan yakin bahwa Allah SWT. menghendaki kebaikan dibalik musibah yang kita alami. Sementara itu, hal ini akan menjadi azab akhirat andaikata kita menyikapinya dengan putus asa, menyalahkan takdir, atau bahkan sampai suudzon kepada Allah, Dzat Yang Maha Baik, naudzubillah.

Demikian juga dengan keburukan akhirat yang kita lakukan tidak serta merta menjebloskan kita ke jurang neraka. Boleh jadi kemaksiatan yang kita lakukan justru menjadi rahmat dan sebab bagi kita untuk menjadi lebih baik, kemudian dimudahkan untuk beramal saleh hingga akhir hayat. Atau bisa jadi justru jatuh terbenam semakin dalam dan akhirnya tak bisa kembali menyelamatkan diri dari siksa Allah, naudzubillah.

Begitulah ringkasnya penjelasan Dr. Luqmanul Hakim. Jadi, apapun yang terjadi di dunia ini, baik atau buruk tidak bisa kita hukumi secara lahir saja. Sebab, semuanya tergantung pada respon kita menyikapi semuanya.

Dr. Luqman menutup penjelasan ini dengan menegaskan bahwa takdir itu ibarat jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu mobil. Sementara nafsu kita ibarat motor butut yang ingin melewati jalur sempit tersebut, namun dari arah sebaliknya.

Oleh karena itu, apabila kita memaksakan nafsu kita untuk melawan takdir, maka yang terjadi justru kita akan tergilas dan hancur. Sedangkan kalau kita mengalah, rida, sabar, dan tabah, maka kita akan selamat. Sebab, bagaimanapun takdir adalah kuasa Tuhan. Tuhan adalah Dzat yang paling berkuasa. Tak akan ada satupun yang mampu melawan Tuhan.

Penulis: Ust. Ahmad Misbakhul ‘Ula, Lc.

Editor: Arnawan Dwi Nugraha