Abad 21 dikenal dengan abad globalisasi dan keterbukaan informasi. Salah satu ciri masyarakat pada abad ini adalah jumlah informasi yang sangat banyak, kehidupan yang makin terdigitalisasi, dan jenis pekerjaan yang menuntut penalaran tingkat tinggi (Najeela Shihab & Komunitas Guru, 2019). Kanwar menuturkan bahwa pada abad ini semua alternatif upaya pemenuhan semua aspek kehidupan berbasis pengetahuan (knowlwdge based). Ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat abad ini terutama mahasiswa yang merupakan prionir terciptanya generasi yang unggul. Mereka harus mempelajari keahlian-keahlian yang sesuai dengan perkembangan masa agar siap menghadapi tantangan-tantangan ini. Setidaknya terdapat tiga kemampuan yang harus dikuasai mahasiswa pada abad ini, yaitu: literasi dasar, kompetensi dan karakter. Dari ketiga syarat tersebut literasi yang paling utama.
Literasi merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki seseorang sesuai konteks kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Literasi secara sederhana diartikan dengan sebuah kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Seseorang dianggap literat jika ia dapat memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Namun, sekarang ini terjadi perluasan makna literasi, sehingga melek aksara bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Literasi kini mencakup literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy)(Permatasari et al., 2015).
Literasi menjadi syarat utama kecakapan hidup abad 21. Kecakapan hidup menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online adalah kemampuan psikososial untuk berperilaku adaptif dan positif yang membuat seseorang dapat memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan tantangan sehari-hari dengan efektif. Mahasiswa sebagai generasi muda yang merupakan penentu masa depan Indonesia harus memiliki kecakapan hidup sebagai modal dalam menghadapi berbagai tantangan. Tingkat literasi sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia (Amran et al., 2020). Tingkat literasi masyarakat suatu bangsa memiliki hubungan yang vertikal terhadap kualitas bangsa. Tingginya minat membaca buku seseorang berpengaruh terhadap wawasan, mental, dan prilaku seseorang.
Baca juga: Tingkatkan Budaya Literasi, Inovasi, dan Kreativitas Masyarakat Melalui Pengembangan IPTEK
Banyak faktor penyebab rendahnya budaya literasi, namun kebiasaan membaca dianggap sebagai faktor utama dan mendasar. Karena masyarakat yang gemar membaca (reading society) dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia agar cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan global yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Namun miris, tingkat literasi bangsa kita hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei (Republika, 12 September 2015). Satu fakta lagi yang miris yaitu penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2020) mendapati bahwa 97% mahasiswa menganggap bahwa membaca merupakan kegiatan yang sangat penting, namun hanya 3% yang menghabiskan waktu dengan membaca. Data ini sangat memprihatinkan karena menunjukkan pemahaman yang dimiliki tidak merubah perilaku dan kebiasaan mahasiswa dalam membaca. Tak sedikit juga hanya terpaku melihat kegiatan dari nama di permukaan, tetapi perencanaan dan prosesnya dijalankan tidak sesuai prinsip pengembangan literasi. Padahal cara mendesainlah yang akan memberikan manfaat yang didapat (Najeela Shihab & Komunitas Guru, 2019).
Dari kasus ini perlu adanya peningkatan budaya literasi pada mahasiswa yang mana dalam hal ini membutuhkan dukungan politik dari pemerintah. Pemerintah sendiri telah melakukan upaya meningkatkan budaya ini melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang berorientasi menanamkan minat baca dan melahirkan kebiasaan membaca. Namun, gerakan tersebut masih bersifat temporal, hanya didemonstrasikan di hari-hari besar saja, sedangkan selainnya sepi baik secara substansial maupun seremonial. Oleh karenanya pemerintah harus lebih serius menanggapi problematika ini, karena budaya literasi berkaitan dengan masa depan bangsa.
Baca juga: Bangkit Indonesia; Urgensi Pemuda Dalam Revolusi Mental
Dalam hal ini yang paling utama adalah kesadaran mahasiswa itu sendiri. Karena sekalipun pemerintah telah serius mendukung, tetap tidak terwujud budaya literasi ini jika mahasiswa sendiri tidak serius dan masih menganggap aktifitas membaca hanya untuk menghabiskan waktu (to kill time), bukan mengisi waktu dengan sengaja (to full time). Maka hendaknya mahasiswa sadar dan menjadikan membaca sebagai kebiasaan melihat literasi kini semakin berkembang. Kebiasaan bukanlah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil proses belajar dan pengaruh pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar. Karena itu, kebiasaan dapat dibina dan ditumbuhkembangkan (Permatasari et al., 2015). Ini semua merupakan upaya menjadi mahasiswa yang literat. Dengan menjadikan membaca sebagai kebiasan, daya kecerdasan meningkat sehingga menghasilkan pikiran yang kritis dan dinamis, peka terhadap lingkungan, bahkan politik.