الله اكبر (۹) اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكبَرْ وَاللهِ الحَمْدُ ، أَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ ، أَشْهَدُ أنْ لا إِلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، أَللَّهُمَّ صَلَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ اتَّقُواللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنِ ، وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى في كتَابِهِ الْكَرِيمِ : وَلَوْ أَنَّ َأهْلَ القُرَى أمَنُوْا وَاتَّقُوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضَ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Khotbah I
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Rasa syukur sudah selayakanya kita haturkan ke hadirat Allah SWT, yang Alhamdulillah dengan hidayahnya sampai saat ini sampai detik ini kita masih ditakdirkan dalam keadaan iman dalam keadaan islam. Pesan takwa tak lupa dan tak bosan-bosanya khatib terus ingatkan melalui mimbar yang mulia ini. Marilah, di kesempatan istimewa ini kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kepada Allah SWT.
Allahu Akbar, walillahil hamdu, ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Hari ini umat Islam mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid, memuji dan mengagungkan kebesaran Allah. Dan disaat bersamaan pula, saudara-saudara kita yang lain sedang melaksanakan rukun islam yang kelima yaitu ibadah haji. Kita berdoa mudah-mudahan mereka dapat melakukan semua rangkaian ibadah haji dengan sempurna dan pulang kembali ke tanah air dengan menyandang predikat haji mabrur.
Allahu Akbar, walillahil hamdu, ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Hari raya Idul Adha dan juga ibadah haji memiliki banyak sekali kaitan dengan sejarah hidup Nabiyyuna Ibrahim as. Beliau adalah sosok yang luar biasa dengan perjalanan hidup yang luar biasa pula. Bahkan kisah Ibrahim diabadikan oleh Allah SWT dengan tercatat dalam kitab suci Al Qur’an. Banyak pelajaran penting yang bisa kita petik dari sejarah perjalana hidup Nabiyyuna Ibrahim as. salah satuanya ialah semangat untuk memanusiakan manusia.
Perintah menyembelih hewan kurban pada setiap Idul Adha bisa dimaknai juga sebagai pesan untuk menyembelih atau menghilangkan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita. Sehingga nantinya yang akan muncul dominan dalam diri kita adalah sifat-sifat manusianya, bukan sifat kebinatangannya atau nafsu hewaninya.
Allahu Akbar, Walillahil hamdu, ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang membedakan manusia dengan hewan. Pertama, manusia bisa berfikir, hewan tidak. Kedua, manusia bisa tersenyum, hewan tidak. Ketiga, manusia punya rasa malu, hewan tidak. Maka semakin tipis tiga unsur ini dalam diri manusia, semakin tipis pula sifat kemanusiaanya. Semakin tergerus salah satu unsurnya, semakin tergerus pula kemanusiaannya dan yang dominan adalah sifat hewaninya. Dan sebaliknya semakin tebal ketiga unsur ini dalam diri seseorang maka semakin tebal pula sifat kemanusiaanya.
1. Sifat kemanusiaan yang pertama adalah Berfikir.
Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu berfikir sangat kritis. Perjalanan Nabi Ibrahim menunjukkan betapa dia sejak muda telah menjadi “pemberontak” terhadap kondisi yang tidak sejalan dengan tauhid. Mula-mula dia memberontak kepada ayahnya sendiri, Azar. Ibrahim protes.
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Artinya: “Ibrahim berkata kepada bapaknya: Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah pada sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat dan tidak bisa memberi sesuatu kepadamu?” (Maryam: 42)
Kemudian Ibrahim juga “memberontak” kepada masyarakatnya, bahkan menghancurkan semua berhala yang menjadi sembahan mereka. Akal cerdasnya membiarkan satu berhala yang paling besar tetap utuh bahkan mengalungkan kapak penghancur itu di leher berhala besar itu.
Tidak berhenti di situ Ibrahim juga melawan penguasa yaitu raja Namrud yang mengaku dirinya sebagai Tuhan.
إِذْ قَالَ إِبْرَهِمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِ وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِ وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَهِمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظَّلِمِينَ
Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. QS. al-baqarah-ayat-258.
Ibrahim adalah seorang yang hanif, yang bersih dari kemusyrikan. Dia tidak pernah sedetik pun menyembah berhala. Maka teladan yang harus kita ambil ialah jangan pernah memberhalakan apapun. Jangan menuhankan apapun selain Allah SWT.
Sekarang memang tidak ada orang menyembah berhala berupa patung. Tetapi banyak orang mempertuhankan benda-benda lain. Benda-benda itu menjadi berhala modern. Manusia yang semula menjadi hamba Allah (abdullah) berubah menjadi hamba duit, hamba jabatan, hamba nafsu, dan hamba-hamba lainya.
2. Sifat kemanusiaan yang kedua adalah Tersenyum
Senyum adalah karunia Allah yang luar biasa. Senyum membuat hidup ini terasa damai dan indah. Hebatnya lagi, hanya manusia yang dapat tesenyum. Tidak ada binatang yang bisa tersenyum. Namun Sayang, senyum yang hanya milik manusia ini sering disia-siakan. Banyak orang lebih sering bermuka muram, cemberut, marah dan sinis. Padahal semua sikap negatif itu membuat wajah kita tampak jelek, mudah sakit, dan tampak tua. Sedangkan senyum membuat wajah lebih sehat, segar, dan indah dipandang.
Tersenyumlah maka dunia akan tersenyum kepada kita. Tersenyumlah supaya kita tetap menjadi manusia. Orang yang enggan tersenyum adalah orang yang kehilangan sebagian kemanusiaannya. Bahkan
baginda Nabi SAW beliau mengingatkan kepada kita :
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah (bernilai) sedekah bagimu“
(HR. Tirmidzi)
3. Sifat kemanusiaan yang ketiga adalah punya rasa malu
Pernahkah Anda memperhatikan sepasang kucing betina dan jantan yang berkejaran ingin bermesraan sambil berteriak-teriak? Itulah contoh nyata tentang hewan yang tidak punya rasa malu. Jika orang ingin tetap menjaga sifat kemanusiaannya maka dia harus bisa menjaga rasa malunya.
Namun sekarang banyak di antara kita kehilangan rasa malu. Para koruptor misalnya, masih bisa berjalan santai dan tertawa-tawa di depan kamera televisi tanpa rasa malu. Pemuda-pemudi yang baru empat bulan menikah sudah melahirkan anak, tidak malu mengumumkan kelahiran bayinya. Tidak malu karena toh ada bapaknya. Bahkan ada publik figur yang melahirkan anak tanpa jelas bapaknya tetap tidak malu. Dengan santainya sambil ketawa-ketawa
dia menyatakan pada media massa: ”Pada saat yang tepat saya akan umumkan siapa bapak dari anak saya.”
Sekarang rasa malu itu banyak tergerus oleh polusi zaman. Padahal rasa malu itu adalah bagian dari iman. Nabi mengingatkan:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ النّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
”Dari Ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya yang dikenal manusia dari ucapan para nabi terdahulu adalah: Jika kamu tidak lagi malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR Bukhari)
Orang bebas berbuat sesukanya kalau tidak lagi punya rasa malu karena kelasnya turun menjadi binatang. Fisiknya masih berwujud manusia tetapi sifat hewani lebih dominan dari pada sifat manusia. Maka di setiap kali Idul adha sudah seharusnya nafsu binatang yang bersemayam di dalam hati, kita sembelih, kita hilangkan sehingga perilaku manusia lebih menonjol dalam kehidupan sehari hari kita. Sifat buas berubah menjadi santun. Bengis berubah menjadi ramah. Rakus berubah dermawan. Tak punya malu menjadi punya malu, dan lain sebagainya
Allahu Akbar, walillahil hamdu, ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Berikutnya, semangat Idul Adha adalah semangat melakukan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Bukan asal-asalan. Karena itu dalam berkurban kita diperintahkan memilih hewan yang baik.
Bukan hewan yang cacat matanya, cacat telinganya, pincang kakinya, dan sebagainya. Allah tidak memerlukan daging hewan itu. Yang sampai kepada Allah memang bukan daging-daging itu, melainkan
tingkat kesungguhan atau tingkat ketakwaan kita. Allah berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
“Tidak akan sampai daging dan darah binatang itu kepada Allah, tetapi yang sampai adalah tingkat ketaqwaan dari kalian.” (Alhajj: 37)
Beragama memerlukan kesungguhan. Beragama tanpa kesungguhan hanyalah main-main. Beragama tanpa kerelaan berkurban hanya omong kosong.
Allahu Akbar, walillahil hamdu, ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Yang juga menarik dan patut menjadi pelajaran adalah peristiwa bagaimana Nabi Ibrahim memberitahukan kepada Ismail bahwa dia akan menyembelih anaknya itu. Mari kita perhatikan firman Allah berikut ini:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السِّعْيَ قَالَ يَا بُنَي إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى ؟ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Ketika Ismail sampai pada (usia sanggup berusaha) bersama Ibrahim (usia remaja), Ibrahim berkata: wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu? Ismail menjawab: wahai ayah, laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu. Insyaallah kau dapati aku termasuk golongan orang yangsabar dan tabah.” (Assaffat ayat 102).
Nabi Ibrahim bertanya, “Pikirkanlah, bagaimana pendapatmu.” Dia memberi kesempatan anaknya untuk mengemukakan pendapat. Ibrahim ingin mendengar unek-unek hati ‘calon korbannya’. Sebenarnya bagi Nabi Ibrahim bisa saja mengambil keputusan sendiri tanpa minta pendapat anaknya. Ada dasar hukum cukup kuat yaitu perintah dari Allah.
Dia juga punya kewenangan cukup, karena dia bapak kandungnya sendiri. Tetapi Ibrahim tidak menggunakan pedekatan hukum saja atau pendekatan kekuasaan saja. Namun Nabi Ibrahim justru memilih pendekatan dialogis, pendekatan kemanusiaan. Inilah contoh yang baik bagi orangtua, pendidik, dan para penegak hukum bagaimana memperlakukan rakyat dan bawahanya.
Allahu Akbar, walillahil hamdu, ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Mengakhiri khutbah ini, mudah mudahan Allah SWT senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayahnya kepada kita , sehingga kita benar benar mampu menyembelih hawa nafsu dalam diri kita di moment Hari raya Idul adha kali ini, dan mudah-mudahan kita juga mampu meneladani kebaikan-kebaikan yang dicontohkan dalam kisah kehidupan Nabiyuna Ibrahim dan Ismail alaihimassalam. Amin amin Ya Rabbal ‘Alamin
Baca Juga: Kenapa Setiap Tahun Hari Idul Fitri Selalu Berbeda?
Khotbah II
الله اكبر (۷) اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لَا إِلَهَ إلا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ الله أكبر ولله الحَمْدُ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ وَلَا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ وَنَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ, وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلامُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدَّيْنِ . أَمَّا بَعْدُ : فَيَا عِبَادَ اللهِ إِتَّقُوا اللهَ َوأَصْلِحُوا أَمْرَ دِينِكُمْ وَمَعَاشِكُمْ، وَتَفَكَّرُوا فِي مَصِيرِكُم وَمَالِكُمْ هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلَّمُوا عَلَى إمَامِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلَّمُوا تَسْلِيمًا. اللَّهُمَّ صَلَّ وَسَلَّمْ وَبَارِك عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنُ وَعَنْ المُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ وَيَاَقَاضِي الحَجَاتِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعاً مَرْحُوْماً، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقاً مَعْصُوْماً ، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلَا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا تحرُوماً. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتَّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاً مِنَّا لِسَاناً صَادِقاً ذَاكِراً، وَقَلْباً خَاشِعاً مُنِيْباً، وَعَمَلاً صَالِحاً زَاكِياً، وَعِلْماً نَافِعًا رَافِعاً، وَإِيْمَاناً رَاسِحَاً ثَابِتٌاً، وَيَقِيْناً صَادِقاً خَالِصاً، وَرِزْقاً حَلَالًا طَيِّباً وَاسِعاً، يَاذَا الْجَلَالِ والإكرام. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الْأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا فِي ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وَكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْى والسُّيْفَ المُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائدَ وَالمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةٌ وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِينَ عَامَّةٌ ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ