Al-Qur’an dan Revolusi Mental

Depok, walisongoonline

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وعلى اله وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

Hadirin Jama’ah Rahimakumullah
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw agar melalui pentunjuknya beliau melakukan perubahan positif dalam masyarakat atau dalam Bahasa al-Qur’an:


الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ەۙ


Mengeluarkan manusia dari aneka kegelapan menuju terang benderang (QS. Ibrahim/14: 1).

Paling tidak ada dua ayat yang sering diungkap dalam konteks revolusi mental/perubahan social, yaitu dalam firman-Nya QS. Al-Anfal/8:53 dan ar-Ra’d/13: 11. Dalam surah ar-Ra’d itu Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ


Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada suatu kaum/masyarakat, sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka.

Kedua ayat di atas berbicara tentang perubahan social, bukan perubahan individu. Ini dipahami kesimpulan bahwa perubahan social tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang, boleh saja perubahan bermula dari seseorang yang Ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding dalam masyarakat.

Di sini pola pikir dan sikap perorangan itu “menular”, sedikit demi sedikit kemudian “mewabah” ke masyarakat luas. Kedua ayat ini juga berbicara tentang pelaku perubahan. Pertama, Allah mengubah apa saja yang dialami oleh satu masyarakat, atau katakanlah sisi luar/lahiriyah masyarakat, sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalamnya atau istilah kedua ayat di atas mabi anfusihim (apa yang terdapat dalam diri mereka).

Hadirin Jama’ah Rahimakumullah
Kedua ayat itu juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan itu, mustahil akan terjadi perubahan social. Karena itu, boleh saja terjadi perubahan penguasa atau bahkan system, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sedia kala.

Jika demikian, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam pandangan al-Qur’an yang paling pokok guna keberhasilan perubahan social adalah sisi dalam manusia atau revolusi mental karena sisi dalam manusialah yang melahirkan aktivitas, baik positif maupun negative, dan bentuk sifat, serta corak aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat, apakah positif atau negative.

Memang, al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia memiliki sisi dalam yang dinamai nafs dan sisi luar yang dinamai antara lain jism yang jamaknya menjadi ajsam. Sisi dalam tidak selalu sama dengan sisi luar (QS. Al-Munafiqun/63:4).

Sisi dalam manusia merupakan wadah besar yang menampung kalbu dan bawah sadar. Kalau kita ibaratkan nafs adalah wadah besar yang didalamnya ada kotak berisikan segala sesuatu yang disadari oleh manusia. Al-Qur’an menamai “kotak” itu qalb.

Apa-apa yang telah dilupakan oleh manusia, namun sesekali dapat muncul dan yang dinamai oleh ilmuwan yakni bawah sadar, juga berada dalam wadah nafs, tetapi di luar kotak kalbu. Bawah sadar itu diisyaratkan oleh al-Qur’an melalui Firman-Nya: Jika engkau mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (Allah) mengetahui yang rahasia dan yang lebih tersembunyi (daripada rahasia) (QS. Thaha/20:7).

Hadirin Jama’ah Rahimakumullah

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, banyak hal yang dapat ditampung oleh nafs, namun dalam konteks perubahan, khotib menggaris bawahi tiga hal pokok:

Pertama, nilai-nilai yang dianut dan dihayati oleh masyarakat. Semakin luhur dan tinggi suatu nilai, semakin luhur dan tinggi pula yang dapat dicapai. Sebaliknya, semakin terbatas, semakin terbatas pula pencapaiannya. Sekularisme atau pandangan kekinian dan kedisinian, pencapaiannya sangat terbatas, sampai di sini dan kini saja sehingga menjadikan penganutnya hanya memandang masa kini dan pada gilirannya melahirkan budaya mumpung.

Kekinian dan kedisinian juga menghasilkan kemandekan, disamping menjadikan orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan dapat bertindak sewenang-wenang. Kalau demikian, ubahlah terlebih dahulu nilai-nilai yang membentuk pola dan sikap hidup anggota-anggota masyarakat atau jika nilai-nilai itu masih dianggap baik, maka mantapkanlah nilai-nilai tersebut sehingga dapat melahirkan pada sisi luar manusia, akhlak dan perilaku yang sesuai dengan makna nilai-nilai itu.

Kedua, adalah iradah/tekad yang kuat yang menghasilkan aktivitas bila disertai dengan kemampuan. Karena itu, apabila iradah yang mantap telah dimiliki disertai dengan kemampuan sempurna, pasti terwujud pula aktivitas yang dikehendaki, sebab ketika itu telah terpenuhi secara sempurna syarat dan tersingkirkan pula penghalangnya.

Iradah mirip dengan indra perasa. Apabila ada aroma yang dihirup hidung, maka secara otomatis penghirupnya akan merasa senang jika aroma tersebut harum dan sebaliknya, bila buruk. Hal ini tentu selama yang bersangkutan sehat.

Tentu saja dalam hal ini perlu memfungsikan akal (intelektual), daya akal yang dimaksud unutuk menyeleksi dipengaruhi oleh sisi dalam manusia, baik kalbu yang menampung segala yang disadarinya, seperti pengetahuan, pengalaman, dan lingkungannya maupun yang berada di bawah sadarnya, termasuk pengalaman-pengalamannya di masa kecil.

Iradah lahir dari nilai-nilai atau ide-ide yang ditawarkan dan diseleksi oleh akal. Jika akalnya sehat, ia akan memilih dan melahirkan iradah yang baik, demikian pula sebaliknya. Semakin jelas nilai-nilai yang ditawarkan serta semakin cerah akal yang menyeleksinya, semakin kuat pula iradah.

Hal ketiga, yang diperlukan adalah kemampuan. Kemampuan terdiri dari kemampuan fisik dan kemampuan non-fisik, yang dalam konteks perubahan social dapat dinamakan kemampuan pemahaman. Dalam pelaksanaan ibadah haji misalnya, Allah swt, mewajibkannya terhadap yang memiliki isthita’ah (kemampuan). Sama halnya suatu masyarakat yang memiliki kekayaan materi tidak bangkit mencapai kesejahteraan lahir dan batin, tanpa memiliki kemampuan pemahaman.

Dalam konteks perubahan social/revolusi mental, perlu ada visi dan misi yang harus dipahami, bukan saja oleh pemimpin, tetapi juga oleh masyarakat luas. Tugas pemimpin adalah menularkan “virus” perubahan kepada masyarakat, paling tidak mayoritas masyarakat, sehingga mereka memahami dan melangkah bersama untuk mewujudkan visi bersama tersebut.

Semoga Allah Swt memberikan iradah, istitha’ah kepada kita semua sehingga dapat terwujudnya Gerakan revolusi mental dan mental health bagi generasi mendatang. Aamiin.


بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْاَنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ ْالاَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلْ مِنِّى وَمِنْكُمُْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ‏

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Khatib: Ustadz Dr. Subur Wijaya, M.Pd.I