Depok, walisongoonline – Pada pertengahan Desember ini, aku Kembali mendatangi pengajian, Bersama Zahra tentunya. Namun kali ini Zahra membawa temannya, Fiolla. Saat hendak beangkat Zahra bergurau,”kayaknya Fiolla habis kesamber bledek deh teh..” Sontak saja aku tertawa sambal menutup mulut, menahan agar tidak terbahak-bahak.
Kali ini pengajian ustad muda, Ustad Duduh. Beliau adalah ustad yang memberikan kajian dengan membara. Setalah sholat zuhur Aula masjid bergema penuh suara ceramah beliau.
“Kalian bayangkan,” Ustaz Duduh membuka ceramahnya, “Rasulullah menyuruh pengikutnya meninggalkan semua harta yang ada di Makkah. Tanah, rumah, dan sawah menjadi tanpa tuan saat para sahabat pergi hijrah ke Madinah. Kaum kafir Quraisy akan mengambil alih semua yang ditinggalkan.”
Beliau melanjutkan, menggugah empati kami, “Berimigrasi ke tanah yang belum pernah diinjak. Tanpa tahu di sana akan tidur di mana, makan apa, atau bagaimana bertahan hidup. Siapa yang kuat meninggalkan kenyamanan rumahnya untuk tidur, mungkin, di lantai masjid?”
Mata Fiola, yang tadi terasa kosong, perlahan mulai fokus. Zahra juga tampak hanyut dalam setiap kalimat Ustaz Duduh.
“Harga tanah di Jakarta sekarang 16 juta per meter persegi. Bayangkan jika kalian memiliki rumah di Jakarta. Sekarang, saya ajak kalian pindah ke Sulawesi. Di sana dakwah kita lebih dibutuhkan. Tidak ada yang tahu kondisi di sana, apakah kita akan tidur di mana, makan apa, atau bertemu siapa. Siapa yang mau ikut?”
Baca Juga: Sarjana Tapi Cuma Guru Ngaji
“Apakah sahabat-sahabat Rasulullah membantah?” suara Ustaz Duduh mulai melirih, “Apakah mereka takut akan kekurangan makan atau kehilangan tempat tinggal? Tidak! Mereka tahu bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang bertakwa.”
Aku tahu cerita ini, materi kelas 5 MI dulu. Tapi kali ini terasa lebih mendalam. Betapa beratnya perjuangan para sahabat meninggalkan segalanya tanpa kepastian apa yang akan terjadi di Madinah. Namun, ketundukan mereka kepada Allah menghadirkan keberkahan yang tak terbayangkan.
Allah membuktikan dengan kuasanya sendiri. Dagangan, Rumah, Sawah, bahkan Istri diberikan secara Cuma-Cuma oleh penduduk Madinah. Hidup terasa lebih damai, tanpa harus takut disiksa oleh kafir Quraisy. Ketakutan yang memenuhi pikiran hanyalah overthinking unfaedah.” Lanjutnya, “Yang nyata adalah keberkahan bagi mereka yang taat.”
Kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah ke Makkah) mendapatkan kenikamatan berjuta kali lipat dibandingkan saat mereka di Makkah. Olok-olok, siksaan hingga pemboikotan hanya tersisa kenangan belaka karena iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Ceramah beliau selesai dengan tepuk tangan dari jamaah. Namun, kami bertiga masih di aula, sejenak merenungi setiap kata yang baru saja kami dengar. Rasanya, taat beragama dan meraih surga begitu mudah jika mendengar ceramah Ustad Duduh.
Setelah pengajian, kami menuju kedai jus untuk melepas dahaga. Cuaca siang itu begitu terik, dan segelas jus buah menjadi pelipur yang menyegarkan. Sambil menyeruput jus, aku memulai obrolan ringan.
“kalian tau ga kenapa saat dikajian tadi tidak ada konsumsi jajanan atau minimal es teh?” tanyaku.
“Biar irit mungkin, Teh. Kan manggil penceramahnya pakai amplop tebal,” jawab Fiola santai.
Sontak saja aku mengibaskan tanganku ke fiola, “hust, buang pikiranmu itu.”
“ya kan mungkin teh…” ucapnya sambal tersenyum pepsoden tak bersalah.
Aku menggeleng “itu sebenernya strategi masjid supaya tempat beribadah tetap steril dan nyaman dipakai jikalau pengajian selesai bertepatan di waktu shalat. Kalau haus ya minum dari thumbler sendiri. Jauh lebih ramah lingkungan kan.” Jelasku. “bukan karena irit atau bahkan pelit ya.”
Kami tertawa bersama. Setelah itu, pembicaraan kami beralih ke alasan Fiola ikut pengajian hari ini. Ternyata, dia sedang dilanda kegelisahan. Akhir bulan membuat dompetnya kian tipis, dan tekanan dari tugas kuliah semakin menumpuk.
“Kadang aku bingung, Teh,” kata Fiola, “Kenapa aku ini malas banget buat shalat? Padahal aku tahu itu kewajiban. Tapi sering banget rasanya berat banget untuk bangkit dari kasur.”
Aku terdiam sejenak. Kalimat Ustaz Duduh kembali terngiang di pikiranku. “Ketakutan itu hanya Overthinking unfaedah. Yang nyata adalah keberkahan bagi mereka yang taat.” Aku menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Fiola, semangat kita itu memang sering naik turun. Dan itulah kenapa Allah mewajibkan shalat lima waktu. Karena shalat itu bukan cuma kewajiban, tapi juga cara untuk mengingat tujuan hidup kita, Allah SWT. Saat kita sujud, kita sedang me-recharge semangat beribadah kita, seperti baterai yang diisi daya. Allah tahu kita lemah, makanya Dia memberikan shalat sebagai cara untuk tetap dekat dan terus kuat.”
Fiola menatapku, matanya berbinar seolah menemukan jawaban atas kegelisahannya. Zahra tersenyum dan menambahkan, “Dan saat kita merasa lemah, itu tanda bahwa kita butuh lebih dekat lagi sama Allah. Karena kekuatan itu hanya datang dari-Nya.”
Percakapan kami berlanjut dengan refleksi masing-masing. Aku sadar, semangat membara untuk beribadah atau bekerja memang tidak selalu datang dari dalam diri. Tapi, melalui shalatlah, Allah mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya, mendapatkan energi menghilangkan malas yang tertanam subur.