Isra Mikraj; Momentum Takarub kepada Allah

Isra berasal dari Bahasa Arab yang berarti berjalan di malam hari. Isra merupakan perjalanan nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, di mana nabi diajak untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di bumi. Sedangkan mikraj berarti naik, yaitu perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsha ke Shidratul Muntaha. Dalam mikraj ini, Nabi diperkenalkan kepada makhluk-makhluk Allah yang ada di langit.

Disebutkan bahwa pengetahuan nabi yang didapat dari perjalanan ini melebihi pengetahuan Nabi Adam. Isra ikraj yang diperingati setiap tanggal 27 Rajab ini menjadi peristiwa yang sangat penting bagi umat Islam karena untuk pertama kalinya diperintahkan salat lima waktu yang merupakan saran takarub hamba dengan Tuhannya.

الصَّلَاةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِ

“Salat itu mikraj (tangga) nya orang-orang yang beriman” (Ar-Razi)

Jika Rasulullah saw. dimikrajkan langsung menghadap Allah, maka bagi umat Islam yang beriman, shalat menjadi tangga untuk naik mendekat kepada Allah. 

Selain itu, Isra Mikraj merupakan momentum untuk memperkuat semangat belajar. Dalam proses belajar, kita harus mengetahui sifat Allah dan akal kita tidak boleh digunakan untuk memikirkan zat Allah, karena zat Allah tidak dapat diketahui dengan nyata.

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.

Itulah mengapa Allah memerintahkan hamba-Nya agar hanya meneliti dan merenungkan ciptaan-Nya saja tidak zat-Nya.

Kita diperintahkan untuk berusaha mempelajari segala sesuatu baik yang zahir dan yang batin dari ciptaan-Nya, minimal pada diri kita sendiri. Diri kita merupakan salah satu ciptaan-Nya yang luar biasa, ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Agung, maka hendaknya kita mengkaji diri, lahir dan batinnya.

Baca juga: DKM Masjid Al-Hikam Selenggarakan Peringatan Isra Mikraj

Pengetahuan mengenai apapun semestinya menghantarkan kita ke posisi terdekat dengan Allah, karena mengetahui tanda-tanda ciptaan Allah saja tidak cukup. Upaya ini haruslah disertai takarub. Maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar ilmu yang kita miliki mendorong kita untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sehingga menjadikan kita hamba sebagaimana yang dikehendaki-Nya, yaitu hamba yang senantiasa bertasbih. Karena puncak dari sebuah pengetahuan adalah saat kita dapat bertasbih dan bertahmid karena ilmu tersebut.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sujud merupakan posisi terdekat seorang hamba dengan Allah.

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ

“Paling dekatnya seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika dia sujud”

Atas dasar hadis inilah, kemudian muncul riwayat lain yang memerintahkan agar memperbanyak doa saat sujud. Seorang hamba bebas berdoa apapun dalam sujudnya. Namun ada doa terbaik saat sujud, yaitu dengan bertasbih dan memuji Allah. Mengapa demikian?

Dikisahkan, suatu hari Rasulullah bertemu seorang Arab Badui saat sedang tawaf. Orang tersebut berdiri di pojok Ka’bah seraya mengucap “Ya Karim, Ya Karim” berulang kali. Kemudian orang tersebut berpindah ke pojok lainnya mengucapkan hal yang sama dan Nabi terus mengikutinya. Orang tersebut melakukan hal yang sama hingga pojok terakhir dan Nabi masih mengikutinya. Orang Badui tersebut merasa kesal karena nabi terus mengikutinya.

“Apakah engkau mengejekku?” tuduh orang tersebut terhadap Nabi, “Aku akan mengadukanmu kepada Nabiku” lanjutnya. “Apakah kamu tidak mengetahui Nabimu?” tanya Nabi. “Tidak, aku belum pernah bertemu dengannya, tapi aku mengimaninya” jawabnya. “Aku adalah Nabimu,” ucap Nabi. Sontak orang tersebut bersikap takdzim terhadap nabi dan memujinya. Kemudian Allah mengutus Jibril untuk menyampaikan salam-Nya kepada Nabi dan orang tersebut.

“Apakah kamu mengira ‘Ya Karim’ mu tidak dihisab? Apakah kamu mengira ‘Ya Karim’ mu tidak akan mengampunimu, memberimu rezeki?”

“Jika Allah menghisabku karena kesalahanku maka aku akan menuntut maghfirah-Nya dan jika Dia menuntutku atas kekuranganku maka aku akan menuntut rahmat-Nya”

Baca juga: Sejarah Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Saat sesorang berdzikir, bertasbih dan memuji nama Allah sekalipun ia tidak meminta diberi rizki, keselamatan ataupun maghfirah, Allah secara otomatis memberikan semua kebaikan kepada orang tersebut, karena doa atau permohonan terbaik seorang hamba adalah dengan memuliakan tuhan-Nya dan menyebut nama-nama-Nya yang baik. Demikianlah, tasbih sebagai doa terbaik saat sujud dan menjadikan seorang hamba berada di posisi paling dekat dengan tuhan-Nya. Dengan itu, pengetahuan tentang ciptaan Allah yang disertai takarub dapat menghantarkan seseorang kepada manisnya beribadah dan munajat kepada Allah.

27 Rajab, menjadi momentum untuk berlomba-lomba mendekat kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Maka galilah ilmu sedalam-dalamnya karena ia dapat menunjukkan kita akan keberadaan Allah.  namun, mengetahui keberadaan Allah saja tidak cukup, diperlukan amaliah dalam suatu ibadah. Karena, hakikat ilmu tidak terletak pada ilmiahnya melainkan amaliahnya. Amaliah kita harus berbasis ilmu dan ilmu kita harus mencapai amaliah. Demikianlah, sebagimana yang selalu dikatakan Abah Hasyim Muzadi kepada murid-murid beliau.

مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللَّهِ الَا بُعْدًا

“Barangsiapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk baginya maka tidak bertambah kepadanya kecuali makin jauh dari Allah.” (Al-Hadis)

Oleh karena itu, pentingnya membarengi berfikir dengan dzikir. Karena jika tidak, ilmu tersebut tidak memberi manfaat justru mendatangkan mudarat.

#Resume kajian K.H. Muhammad Hilmi Ash-Shidqi Al-Aroky