Kultum: Keseimbangan dalam Ajaran Islam

Kultum oleh Arnawan Dwi Nugraha (Mahasiswa STKQ Al-Hikam Depok Angkatan 10)

الحمد لله الذي خلق الإنسان من طين؛ ثم جعل نسله من سلالة من ماء مهين؛ ثم سواه ونفخ فيه من روحه وصوره في أحسن تقويم

وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله أفضل المخلوق على الإطلاق أجمعين؛

Yang kami takzimi, Ustaz Adib Minanul Cholik, pengampu pengajian tafsir Jalalain. Teman-teman mahasantri STKQ yang dirahmati Allah Ta’ala.

Pada kesempatan kali ini, izinkan al-faqir menyampaikan kultum mengenai keseimbangan dalam ajaran Islam.

Hadirin yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Islam sejatinya mengajarkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat (duniawi dan ukhrawi). Tidak berlebihan pada dunia, pun demikian halnya pada akhirat. Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77 Allah Swt. berfirman,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧

Artinya: “Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Ayat tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwasanya akhirat sejatinya Allah Swt. sediakan bagi manusia sebagai tempat kembali, namun seperti kita ketahui, manusia juga ditakdirkan untuk hidup di dunia. Oleh karenanya, sebagaimana akhirat yang harus kita upayakan dengan sepenuh tenaga, maka dunia sebagai sarana menuju akhirat juga harus kita tata dengan sebaik-baiknya. Dalam kaidah fikih terdapat sebuah kaidah yang berbunyi,

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Artinya: Sesuatu hal yang membuat sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan (dipenuhinya) sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.”

Dalam hal ini, dunia sebagai perangkat (wasilah) menuju kebahagiaan akhirat, mesti diperjuangkan seoptimal mungkin. Singkatnya, akhirat tak bisa lepas dari dunia.

Ada sebuah ungkapan bahwa dunia merupakan ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya, bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia adalah dengan menjadikannya ladang bercocok tanam pelbagai amal kebaikan yang nantinya akan kita panen di akhirat. Apabila amal yang kita tanam merupakan amal kebajikan, maka kelak kita akan memanen hasil kebaikan tersebut. Sebaliknya, jika kita menanam keburukan, maka kita akan menuai hasil yang buruk pula di akhirat kelak. Sebagaimana Allah berfirman.

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ٨

Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.”

Hadirin yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Terdapat sebuah hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (terlepas dari status atau tingkatannya) yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhuma berbunyi:

اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأنَّك تَعِيشُ أبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا

Artinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”

Hadis ini mengajarkan kita dua aspek kehidupan, yakni duniawi dan ukhrawi. Bagian ukhrawi yakni bagaimana kita semestinya khusyu wal khudu dalam beribadah. Pada saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk memiliki gairah dalam bekerja (memenuhi kebutuhan sehari-hari). Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim semestinya senantiasa produktif dalam kehidupan. Dari sinilah tampak wajah Islam yang mengajarkan kita untuk saleh secara ritual dan sosial. Tidak cukup seseorang beres hubungannya dengan Allah Swt. (hablun minallah) semata. Lebih dari itu, seorang muslim juga harus menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia (hablun minannas).

Adapun implementasi hablun minannas contohnya ialah, orang-orang yang kaya dalam Islam diperintahkan untuk membantu yang miskin. Sementara yang miskin di dalam Islam bukan diminta untuk mengemis, namun diperintahkan untuk berusaha supaya dapat keluar dari jeratan kemiskinan. Kemudian, apabila seseorang menjadi tuan rumah, maka ia diwajibkan untuk menghormati tamunya. Pada saat yang sama, bilamana seseorang berposisi sebagai tamu, maka dalam Islam ia diwajibkan untuk tahu diri.

Hadirin yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Meskipun demikian, menurut Imam asy-Sya’rawi dalam tafsir asy-Sya’rawi, hadis tersebut mengisyaratkan bahwasanya kita bekerja untuk mendapatkan hal-hal duniawi secukupnya saja. Menurut Imam asy-Sya’rawi, kita dianjurkan untuk berpikir bahwa kita akan hidup selamanya sehingga hari esok masih ada dan masih banyak waktu untuk mengejar target duniawi. Artinya selama masih ada kehidupan, rezeki selalu tersedia setiap hari sehingga tidak perlu bekerja mencari dunia secara “ngaya” atau bekerja terlampau keras, sampai-sampai lupa ibadah dan lupa waktu untuk beristirahat.

Allah Swt. Telah mengingatkan di dalam Al-Qur’an surat an-Naba’ bahwa kehidupan ini telah diatur sedemikian rupa dengan seimbang; ada siang dan ada malam, ada waktunya beraktivitas, ada pula waktu untuk beristirahat.

وَّجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاسًاۙ ١٠ وَّجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًاۚ ١١

Artinya: “Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba [78]: 10-11)

Semua itu haruslah berjalan seiring, serasi, dan seimbang. Adapun titik tekannya ialah وَلَلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ (Kehidupan akhirat lebih baik bagimu daripada kehidupan dunia).

Dari uraian tadi, kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwasanya Islam sejatinya mengajarkan para pemeluknya untuk memperhatikan bukan hanya salah satu dari kehidupan dunia atau akhirat, melainkan keduanya haruslah berjalan seiring, serasi, dan seimbang. Namun, sebagai manusia yang meyakini adanya kehidupan akhirat, kita yakin bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara. Oleh karena itu, visi utama kita hidup di dunia ialah mencapai kebahagiaan akhirat, sesuai dengan firman Allah Swt. وَلَلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ.

Demikianlah kultum singkat dari saya. Kebenaran milik Allah Swt., adapun kekeliruan, kebodohan, serta salah ucap itu datangnya dari dalam diri al-faqir. Semoga kultum ini bermanfaat bagi kita semua. Akhirul kalam, wasalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.