Mbak Anik dan Nasehat Hidupnya

Malam itu, seperti malam-malam lainnya, aku berdiri di balik meja saji, memandangi pelanggan yang hilir-mudik. Warung bakso ini selalu ramai, tapi entah kenapa malam ini aku merasa lebih kosong dari biasanya. Mungkin karena obrolan dengan ibuku tadi siang masih membayangi pikiran.

“Kapan kamu nikah, Nduk? Umur sudah segini,” katanya.

Aku hanya bisa tersenyum kecut, karena aku sendiri belum tahu jawabannya. Kadang aku berpikir, mencari pasangan itu seperti mengelola keuangan—bukan sekadar memilih yang nyaman, tapi juga harus sejalan dalam prinsip. Dan sayangnya, sejauh ini aku masih belum menemukan “investasi” yang tepat.

Hingga pandanganku tertuju pada sepasang pelanggan yang baru duduk di sudut. Seorang wanita berkerudung tampak akrab berbicara dengan pria muda yang sepertinya adalah adiknya.

“Adeknya mba?” tanyaku basa-basi.

“Adek nemu di jalan nih.” candanya sambil tertawa renyah menatap pria didepannya. Dia Mbak Anik, selalu ramah, bahkan kadang memberikan nasehat kecil yang entah kenapa selalu mengena,

Aku mengambil pesanan mereka sambil mencuri dengar percakapan ringan yang mengalir di antara mereka.

“Gimana, kayaknya banyak yang mau kamu ceritain. Lama kita nggak ngobrol langsung kayak gini,” ucap Mbak Anik.

“Iya, banyak banget. Aku mulai dari mana ya?” jawab si pria, sambil tertawa kecil.

Awalnya mereka membahas hal-hal ringan, tapi topik kemudian beralih ke sesuatu yang lebih serius. Si pria mulai bercerita tentang hubungan asmaranya yang rumit. “Sebenernya aku cuma pengen kita tetap temenan, meskipun udah selesai,” katanya pelan.

Baca Juga: Masjid milik orang Islam

Aku mengangkat kepala, berpura-pura sibuk menyusun mangkuk, tapi sebenarnya penasaran. Teman versi dia tuh apa? Datang pas butuh aja? Pikiran itu berputar di kepalaku, karena aku sendiri sering merasa seperti itu di hubungan-hubunganku yang lalu.

“Kamu masih punya hutang?” tanya Mbak Anik tiba-tiba, membuatku terkejut. Topiknya langsung bergeser, seperti pindah jalur kereta.

“Punya, sih,” jawab si pria santai. “Tapi aku udah lunas sejak beasiswa cair. Nabung juga kayak yang mbak suruh, tapi di kripto.”

Mbak Anik melongo. “Tapi kok masih punya utang?”

Si pria tertawa kecil, mencoba menjelaskan. “Kemarin beli laptop baru. Soalnya aku sekarang jadi konten kreator organisasi. Kerjanya lebih mudah kalau pakai layar besar. Kebetulan ada laptop murah, aku beli pakai uang yang ada, ditambah minjem temen. Soalnya uang di kripto, kalau ditarik, pajaknya besar.”

Aku menggeleng kecil. Laptop, beasiswa, kripto—terdengar jauh dari masalahku yang sederhana: mencari pasangan yang cocok. Tapi aku juga sering sih, beli-beli barang yang bayarnya pakai uang paylater.

“Dek, tau nggak, salah satu alasan aku dan Mas bisa bareng sampe sekarang?” tanya Mbak Anik tiba-tiba, seperti ingin mengganti suasana.

Si pria menggeleng, terlihat penasaran. Aku pun ikut mendengarkan sambil pura-pura sibuk di meja.

“Prinsip keuangan kami sama,” katanya. “Pernah suatu hari, kami ke mall. Mas lihat sepatu bagus. Kalau dilihat tabungan, dia bisa beli. Tapi dia nggak beli. Katanya, ‘Masih banyak hal yang lebih penting. Kalau mau, nanti aja, bikin tabungan baru buat beli itu.'”

Aku menatap mangkuk-mangkuk yang kosong di meja mereka. Obrolan tadi masih terngiang di pikiranku.

Mungkin, benar kata Mbak Anik. Hubungan itu bukan cuma soal cinta atau kebiasaan sehari-hari, tapi juga soal bagaimana kita memandang hidup—termasuk cara kita mengatur uang.

Aku menarik napas panjang, lalu melirik layar ponselku. Saldo paylater masih ada cicilan yang harus dibayar bulan depan. Aku tertawa kecil, entah menertawakan diriku sendiri atau kenyataan bahwa, bahkan sebelum memikirkan pernikahan, mungkin aku harus belajar dulu tentang prinsip keuangan.

Karena dalam hidup, baik dalam cinta maupun uang, keputusan yang diambil hari ini bisa menentukan apakah masa depan akan menjadi utang atau tabungan.