Pesantren Mahasiswa Al-Hikam dan Bedah Kitab “Manhaj As-Salaf Fi Fahmi An-Nushus” Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki

Pesantren Mahasiswa Al-Hikam dan Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) Al-Hikam menyelenggarakan bedah kitab Manhajus Salaf Fi Fahmin Nushush karangan Syaikh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Ahad, 12 Desember 2021 yang bertempat di selasar Masjid Al-Hikam.

Bertindak sebagai pemateri dalam bedah kitab ini adalah K.H Tirmidzi Abdul Mujib, Lc salah seorang santri Syaikh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dan Dr. TGB Muhammad Zainul Majdi, Lc. MA., bertugas sebagai moderator yakni Ustaz Ali Fitriana Rahmat, M.A. Selain  itu, turut hadir pula dalam acara ini beberapa Alumni Pesantren  Syeikh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, para mahasantri dari Sekolah tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) Al-Hikam, Pesantren Mahasiwa (PESMA) dan Pesantren Mahasiswi (PESMI) serta warga sekitar.

Dalam sambutannya, Kepala Pesantren Al-Hikam Depok, K.H. Muhammad Yusron Shidqi, Lc., M.Ag. menyampaikan bahwa,“Diselenggarakannya acara ini sebagai bentuk bakti kami kepada Abah Hasyim Muzadi. Di mana beliau pernah berwasiat untuk menjalin silaturahim dengan Ma’had Sayyid Alawi di Makkah. Maka dari itu sudah semestinya dengan adanya bedah kitab karangan beliau ini selain juga menyambung silaturrahim juga menyambung silatufikri (menyambung pemikiran beliau) dengan santri-santri Al-Hikam.”

Memulai acara bedah kitab, Ustaz Ali Fitriana Rahmat, M.A. dalam pembukaannya sebagai moderator menyampaikan adanya keterikatan dan hubungan antara penulis kitab dan Abah Hasyim.

“Antara Abah Hasyim dan Abuya Alawi memiliki beberapa hubungan kesamaan, yakni tanggal lahir Abah Hasyim dan Abuya Alawi tidak jauh beda yang masih satu letting. Kemudian hubungan guru dan murid, selain itu abuya juga pernah tinggal lama di Malang sebagaimana abah tinggal juga di Malang. Selanjutnya sama-sama tidak mau dipanggil kyai oleh para santrinya. Terakhir mengutip dari Kyai Nafi’ bahwa antara abah dan abuya mempunyai kesamaan trilogi, yakni; pertama keaswajaan, kedua keumatan atau keislaman, ketiga kebangsaan. Sehingga dirasa perlu disambungnya tali asih antara Abah Hasyim dan Abuya Alawi dengan adanya bedah kitab ini.”

KH. Tirmidzi Abdul Mujib sebagai pembedah pertama menyampaikan bahwa kitab Manhaj as-Salaf Fi Fahmi an-Nushush pertama kali dicetak sekitar tahun 1418 Hijriyah. Sang Penulis memiliki guru-guru hebat semasa hidupnya. Beliau menjadi ulama sekitar umur 25 tahun. Syaikh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki mengenyam Pendidikan S1 hingga S3 di Al-Azhar. Beliau diakui sebagai profesor di Al-Azhar sekitar tahun 2000-an. Tawasul yang dilakukan oleh penulis semasa hidupnya yakni beliau senantiasa menyebut biografi atau nama-nama orang shaleh maupun guru-gurunya sehingga rahmat Allah SWT akan turun dan darah sanad keilmuannya menyambung ke beliau.

“Salah satu uslub atau gaya bahasa Syaikh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam menulis kitabnya yakni adanya pengulangan penjelasan sebanyak tiga kali. Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Pengulangan tersebut bertujuan untuk meyakinkan para pembaca mengenai bahasan tersebut,” ujar K.H Tirmidzi menambahkan penjelasan sebelumnya.

Pada kesempatan itu pula, Dr. TGB Muhammad Zainul Majdi, Lc. MA. sebagai pembedah kitab kedua menuturkan bahwa kitab Manhaj Salaf ditulis oleh Abuya Maliki sebagai respon dan tanggapan atas berbagai peristiwa dan fenomena yang terjadi di Arab Saudi dan sekitarnya pada waktu itu berupa perselisihan dan kesalahpahaman orang Islam dalam memahami nas.

“Bahasan utama dalam kitab ini adalah untuk menjelaskan 4 perkara, antara lain Akidah, Al-Qur’an dan hadits, Ulumul hadis, serta Ats-tsaqafatul Islamiyah (tema-tema yang sering diperbincangkan). Keempat perkara tersebut terhimpun dalam satu bahasan, yaitu Al-Islam Al-Wasathiyah,” lanjut Dr. TGB Muhammad Zainul Majdi, Lc. MA.

Pada kesempatan itu pula, TGB, sapaan akrab beliau juga menyampaikan bahwa salah satu karakteristik Islam Wasathiyyah adalah mempersempit pengkafiran kepada wilayah yang paling sempit sehingga sangat berhati-hati dan tidak mudah dalam mengkafirkan seseorang. Manhaj Al-Wasathiyyah menurut Akidah Asy’ariyyah sendiri tidak akan pernah mengkafirkan seseorang yang masih berkiblat kepada kiblatnya kaum muslim kecuali jika ia telah mengingkari sesuatu yang membuatnya dapat masuk Islam (syahadat).

Usai pemaparan dari para pembedah, acara ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Pada sesi itu, antusias peserta sangat tinggi. Hal itu terlihat dari banyaknya pertanyaan yang muncul. Diantaranya mengenai konsep wasathiyyah dalam bingkai kenegaraan, objektivitas dan subjektivitas antara muafassir klasik dan kontemporer, perselisihan dalam ranah akidah antara Sunni dan Salafi/Wahabi yang tak kunjung selesai.

Sebagai penutup, acara ini diakhiri dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh KH. Hilmi Ash-Shidqi Al-Aroky yang diamini oleh para hadirin.

Pewarta : Aulia Nurul Azizah

Editor : M. Lutfil Hakim