Sejarah Peletakan Nuqthah Al-I’jam Dalam Al-Qur’an

Mushaf Sebelum Adanya Titik dan Harakat

Al-Qur’an adalah kitab samawi yang dijamin kemurnian dan keautentikannya sepanjang masa (Qs. Al-Hijr/15:9). Keaslian kitab suci al-Qur’an sebagai sumber utama dalam hukum Islam, dibuktikan salah satunya dengan penulisan dan pengkodifikasian mushaf al-Qur’an yang selalu dilakukan secara ketat, dengan mengacu pada bacaan para ulama tsiqah (terpercaya) yang bersambung sanad bacaannya kepada Rasulullah .

Al-Qur’an telah ditulis sejak zaman Nabi SAW tanpa adanya titik maupun syakal . Kondisi penulisan seperti ini (tanpa titik dan syakal ), terus berlangsung sampai pengkodifikasian mushaf pada masa Khalifah Utsman bin Affan.

Penggunaan titik pada huruf maupun syakal pada masa awal Islam memang belum terlihat perlu. Pasalnya, umat muslim pada masa itu masih merupakan penduduk Arab yang fasih. Mereka membaca al-Qur’an sebagaimana mereka ber-talaqqy (mendengar dan memperdengarkan bacaan al-Qur’an secara langsung) di hadapan Rasulullah SAW. atau ber- talaqqy kepada para Sahabat yang ber-talaqqy kepada Rasulullah SAW. Selain itu, hikmah dari dibiarkannya rasm tanpa titik maupun syakal adalah agar dapat mengakomodir berbagai macam versi bacaan al-Qur’an (qiraat).

Munculnya Akar Permasalahan 

Masalah terkait rasm (penulisan al-Qur’an) mulai ketika wilayah jangkauan Islam mulai menjangkau daerah-daerah ‘ajam (non Arab). Kaum muslimin ‘ajam yang bukan penduduk Arab mengalami kesulitan dalam membaca al-Qur’an, terutama dari kalangan orang-orang awam. Hal ini tentunya menjadi pokok perhatian dan objek bahasan para ulama, serta penguasa wilayah Islam pada masa itu.


Melihat kondisi itu, maka mereka berusaha mencari untuk mengatasai masalah tersebut, sehingga muncullah Abu Aswad ad-Du’ali meletakkan nuqthah-nuqthah (nuqthah secara bahasa berarti titik) untuk menunjukan harakat pada setiap akhir kata yang dikenal dengan nuqthah al-i’rab . Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh kedua muridnya, Yahya bin Ya’mar al-Bashri (w. 89 H) dan Nashir bin ‘Ashim al-Laitsi (w. 90 H), yang meletakkan nuqthah-nuqthah untuk membedakan huruf-huruf hijaiyah yang dikenal dengan nuqthah al-i’jam .

Pada masa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan (65-86 H/685-705 M), Dinasti Umayyah mencapai puncak masa kejayaannya. Pada masa ini, Luas Wilayah Islam di Timur telah mencapai Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana, dan Samarkand. Tentara muslim di bawah kekhalifahan ini bahkan telah sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan.

Dari satu sisi, melebarkan wilayah yang besar-besaran ini memunculkan problematika baru, dimana mulai bercampurnya lisan al-‘ajam (bahasa non Arab) dengan lisan al’arab (bahasa Arab). Lisan al-‘ajam mulai banyak digunakan dikalangan masyarakat Arab sehingga lisan al-fusha (bahasa Arab yang fasih) mulai mengalami kerusakan.

Orang-orang awam, bahkan dari kalangan arab sendiri, mulai kesulitan membedakan huruf-huruf dan kalimat dalam al-Qur’an. Akibatnya, mulalah muncul al-lahn dan al-ujmah (kesalahan dalam membedakan harakat dan huruf) dalam pengucapan ayat-ayat al-Qur’an.

Melihat masalah tersebut, maka diperlukan adanya perubahan atau perkembangan pada penulisan mushaf yang dapat mencegah kesalahan-kesalahan (al-lahn dan al-ujmah) itu semakin meluas, sehingga al-Qur’an dapat terus terjaga dan dapat dibaca oleh seluruh kaum muslim.

Khalifah Abdul Malik bin Marwan (w. 86 H/705 M), raja ke-lima Dinasti Umayyah, kemudian memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy (75-95 H) gubernur Irak pada saat itu, untuk memberikan solusi terhadap “wabah” al-lahn dan al-ujmah tersebut di masyarakat. Al-Hajjaj kemudian menunjuk dua ulama besar Irak, Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar.

Dua Eksekutor: Yahya bin Ya’mar al-Bashri dan Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi

Penunjukan al-Hajjaj terhadap kedua tokoh tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Yahya bin Ya’mar al-Bashri (w. 89 H) dan Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi (w. 90 H) merupakan tokoh dan ulama ahli sastra Arab dan qiraat terkemuka pada masanya. Selain itu, keduanya merupakan murid dari Abu Aswad Ad-Du’ali, penggagas ilmu nahwu, sekaligus peletak dasar nuqthah al-i’rab dalam al-Quran.

Yahya bin Ya’mar al-Bashri merupakan seorang ulama besar dari generasi awal tabi’in. Ia pernah sebagai qadhi di Marwa. Ia seorang ulama yang faqih, ‘allamah, ahli nahwu, dan ahli qiraat terkemuka.Nama lengkapnya adalah Abu Sulaiman Al-Adawani Al Bashri. Ia memiliki kunyah (julukan) Abu ‘Adi.

Dalam ilmu qiraat al-Qur’an Ia belajar kepada Ibnu Amr dan Ibnu Abbas ra. Ia juga ber-talaqqy kepada Abu Aswad Ad-Du’ali. Adapun di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Abdullah Ibn Abi Ishaq al-Hadhramy dan Abu Amr Ibn al-‘Ala (salah satu dari tujuh imam qiraat yang mutawatir).Yahya bin Ya’mar wafat sebelum tahun 90 Hijriah.

Sebagaimana Abu ‘Adi (julukan Yahya bin Ya’mar), Nashir bin ‘Ashim al-Laitsi juga merupakan seorang ulama ahli bahasa dan qiraat yang terpandang dan terpercaya. Imam An-Nasa’i dan lainnya menganggapnya tsiqah. Ia belajar al-Qur’an kepada Abu Aswad ad-Du’ali.Ia wafat sebelum tahun 100 Hijriyah.

Langkah yang Dilakukan Keduanya

Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh keduanya dalam menjawab permintaan al-Hajjaj tersebut adalah dengan memberikan nuqthah pada huruf-huruf tertentu dalam al-Qur’an, sehingga dapat dibedakan antara huruf-huruf yang memiliki rasm serupa. Nuqthah ini berbentuk garis-garis miring (khat mailah) berukuran kecil dengan warna hitam, berbeda dengan nuqhtah i’rab yang pada saat itu berbentuk lingkaran dengan warna merah.warna merah.

Tujuan dari digunakannya nuqthah i’jam dalam penulisan al-Qur’an adalah agar dapat dibedakan antara huruf-huruf yang memiliki keserupaan dalam rasm nya. Rincian penerapannya adalah sebagai berikut:

  • Huruf ba’ (ب) diberi satu nuqthah di bawah , huruf ta’ (ت) diberi dua nuqthah di atas, dan huruf tsa’ (ث) diberi tiga nuqthah di atas. This huruf nun  (ن)diberi satu titik di atas dan untuk huruf ya  (ي)dua titik di bawah ketika keduanya tidak berada pada akhir kalimat agar berbeda dengan huruf ba’ ta’ dan tsa’ .
  • Huruh jim (ج) diberi satu nuqthah di bawah dan huruf kha’ (خ) diberi satu nuqthah di atas. Sedangkan huruf ha’ (ح) dibiarkan tanpa nuqthah (muhmal) untuk menghindari keserupaan.
  • Huruf syin (ش) diberi tiga nuqthah diatasnya dan huruf sin  (س) dibiarkan tanpa nuqthah (muhmal).
  • Huruf dzal (ذ), zay (ز), dlad (ض), dho’ (ظ), dan ghain (غ), masing-masing diberi satu nuqthah Sementara huruf dal (د), ra’ (ر), sho (ص), tha (ط), dan ‘ ain (ع) dibiarkan tanpa nuqthah (muhmal).
  • Huruf fa’ (ف) diberi satu nuqthah di bawah dan huruf qaf  (ق) diberi satu nuqthah di atas jika keduanya bukan pada akhir kata.
  • Huruf kaf (ك) dibiarkan dalam keadaan muhmal (tanpa nuqthah) karena pada waktu itu bentuk tidak menyerupai lam (ل) .
  • Huruf lam (ل) , mim (م) , ha’ (ه) , wau (و) , dan alif (ا) dibiarkan dalam keadaan muhmal (tanpa nuqthah) karena tidak ada keserupaan dengan huriuf lain.
  • Demikian pula huruf fa’ (ف) , qaf (ق) , nun (ن) , dan ya’ (ي) dibiarkan dalam keadaan muhmal (tanpa nuqthah) ketika berada diakhir kalimat. Hal ini terus berlaku sampai ulama-ulama masyriqy memberi nuqthah pada huruf-huruf tersebut dengan diberlakukannya suatu peraturan, sementara itu ulama-ulama maghriby tetap membiarkannya muhmal sebagaimana asalnya.
Referensi:

Abd al-Lathif Fayzuryan, At-Tabyin Fi Ahkam Tilawah al-Kitab al-Mubin

Sya’ban Muhammad Isma’il, Rasm al-Mushaf Wa Dhabthuhu

Akhmad Saufi dan Hasmi Fadiilah, Sejarah Peradaban Islam

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’

Aiman Rusyd Suwaid, At-Tajwid Al-Mushowwar

Editor: Ust. Ali Fitriana Rahmat, M.Ag.