Gus Yusron: Resiliensi Kunci Sukses dalam Menuntut Ilmu

إذا وقع منك ذنب فلا يكن سببا ليأسك من حصول الاستقامة مع ربك فقد يكون ذلك آخر ذنب قدر عليك

“Jika engkau terlanjur melakukan dosa, maka jangan sampai menyebabkan engkau putus asa untuk mendapatkan istiqomah menghadap Tuhanmu, sebab kemungkinan dosa itu yang kau lakukan itu sebagai dosa terakhir yang telah ditakdirkan Tuhan bagimu.”

Depok, walisongoonline.com – Pengasuh Pesantren Al-Hikam II Depok, Gus Yusron Shidqi, dalam pengajiannya menyampaikan pentingnya resiliensi dalam proses belajar dan kehidupan. Beliau menegaskan bahwa belajar tidak cukup hanya dengan memahami teori, tetapi juga harus disertai dengan kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang baru.

Resiliensi—kemampuan untuk beradaptasi dan bangkit kembali dari kesulitan—menjadi faktor krusial dalam kehidupan, karena tidak selamanya hidup dipenuhi kebahagiaan; ada kalanya seseorang harus menghadapi tantangan dan kesulitan. Hal ini disampaikan beliau dalam pengajian kitab Al-Hikam karya Ibn ‘Ata’illah al-Iskandari pada Ahad pagi, 2 Februari 2025, di Masjid Al-Hikam Depok.

Ibn ‘Ata’illah dalam Al-Hikam juga  mengingatkan kita bahwa “Jika engkau terlanjur melakukan dosa, maka jangan sampai menyebabkan engkau putus asa untuk mendapatkan istiqomah menghadap Tuhanmu, sebab kemungkinan dosa itu yang kau lakukan itu sebagai dosa terakhir yang telah ditakdirkan Tuhan bagimu. Hikmah ini mengajarkan bahwa meskipun kita pernah berbuat salah atau jatuh dalam dosa, kita tidak boleh putus asa dan berhenti berharap pada rahmat Allah.

Setiap dosa yang kita lakukan bisa jadi merupakan ujian terakhir yang memungkinkan kita untuk lebih dekat kepada-Nya, dan kita diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Jangan biarkan dosa membuat kita merasa terputus dari rahmat Allah, karena selalu ada jalan untuk kembali kepada-Nya selama kita masih diberi kesempatan.

Baca Juga: Kajian Kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah : Hikmah ke-111

Mengutip pepatah “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” Gus Yusron menekankan bahwa beban atau tanggung jawab akan terasa lebih ringan jika dilakukan bersama-sama. Menurutnya, “Berjalan sendiri memang bisa lebih cepat, tetapi jika berjalan bersama, perjalanan akan terasa lebih jauh dan lebih bermakna.”

Beliau juga menyoroti pentingnya membangun resiliensi di pesantren. Menurut Gus Yusron, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk menuntut ilmu agama, tetapi juga sebagai sarana untuk melatih ketahanan mental dan emosional para santri.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama sama, seperti belajar, beribadah, dan berinteraksi sehari-hari, menjadi kesempatan untuk saling mendukung dan bekerja sama dalam menghadapi berbagai ujian hidup.

Gus Yusron mengajak para santri untuk membangun resiliensi yang baik, karena kehidupan di pesantren tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga memberikan pengalaman hidup yang nyata. Dalam keseharian mereka yang penuh kebersamaan, para santri diajarkan untuk menghadapi tantangan bersama-sama dan belajar untuk bekerja sama, yang menjadi bekal penting untuk menghadapi kehidupan di luar pesantren.

Namun, beliau juga mengakui bahwa ada sebagian santri yang memilih untuk boyong (keluar dari pesantren) karena kurangnya resiliensi. Oleh karena itu, Gus Yusron mengingatkan bahwa belajar tidak cukup hanya dengan memahami teori, tetapi harus diimbangi dengan pengamalan agar ilmu yang didapat benar-benar bermanfaat dalam kehidupan.