Kultum: Jika Rezeki telah Allah Atur, Mengapa Kita Perlu Bekerja

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Taala karena atas berkat limpahan rahmat,, rezeki, hidayah-Nya kita dapat kembali berkumpul di tempat yang penuh barokah ini.

Selawat teruntaikan salam selalu kita haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Para hadirin yang dirahmati oleh Allah Taala

Dewasa ini, kita seringkali berjumpa dan berhadapan dengan berbagai berita di media sosial yang menampilkan kekayaan dan penghasilan yang sangat menggiurkan dari individu tertentu. Artis, pejabat, dan para sultan–misalnya. Keadaan ini kerap kali membuat sebagian khalayak yang menyaksikan mereka menjadi menderita, terlebih lagi kaum milenial.

Penderitaan tersebut kemudian berimbas pada timbulnya rasa cemas dan takut yang berlebihan. Kondisi ini dalam Ilmu Psikologi disebut sebagai quarter life crisis. Masa kegalauan dimana seseorang bingung akan jati diri dan kehidupannya di masa depan. Perpaduan rasa cemas dan kondisi psikologis yang galau memang sangat kompleks untuk membuat orang jatuh dalam keraguan dan  kebimbangan hidup. Lantas, timbul pikiran dalam benaknya bagaimana cara untuk menghadapinya?

Sejatinya perasaan tersebut timbul karena adanya perspektif yang salah dalam memahami rezeki. Kita sering mendengar bahwa “rezeki sudah diatur semua oleh Allah”. Jika demikian, mengapa kita masih perlu bekerja jikalau rezeki memang sudah ditentukan? Kiranya kita perlu kembali memahami bagaimana konsep “ketentuan rezeki”.

Para hadirin yang dimuliakan oleh Allah

Allah SWT. berfirman dalam surah Hud ayat ke 6.

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا

Tak ada satupun hewan melata di muka bumi kecuali Allah sudah menjamin rezekinya,

Semua makhuk di muka bumi sudah dijanjikan rezeki oleh-Nya, baik manusia, jin, hewan, dan tumbuhan. Semuanya itu tak ada yang luput dari pantauan dan pengawasan-Nya. Tak satupun dibuat terlantar bahkan semut kecil yang ada dalam kegelapan malam pun terjamin rezekinya. Itulah Allah yang tak pernah mengingkari janji-Nya.

Al-Faqir teringat dengan sebuah hadis Nabi yang tecantum dalam kitab Arbain an-Nawawi. Dimana ketika itu, Nabi menceritakan kepada Abdullah bin Mas’ud bagaimana proses penciptaan manusia dari awal yang masih berupa setetes nutfah lalu menjadi segumpal darah hingga janin berumur 4 bulan di rahim ibunya, lalu beliau bersabda.

ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Kemudian diutus kepada rahim tersebut malaikat, lalu  diperintahkan untuk meniupkan ruh dan menuliskan pada ruh itu empat hal, yakni rezeki, ajal, amal dan nasibnya (celaka atau beruntung).”

Hadis ini mengisyaratkan kepada kita bahwa rezeki kita telah Allah atur sejak kita masih dalam perut ibu,  bersamaan dengan waktu ditiupkannya ruh. Namun, hadis ini sering kali disalahpahami oleh banyak orang. Mereka beranggapan jika Allah sudah menentukan kadar rezeki manusia, sejak mereka hidup sampai ajal tiba, memastikan rezeki akan sampai pada waktunya maka otomatis menunggu waktunya dan tak bekerja adalah hal yang terbaik. Kemudian golongan ini juga berargumen bahwa bekerja hanyalah dispensasi bagi manusia yang berjiwa lemah. Bahkan tak jarang dapat menjadi sumber kemaksiatan karena dapat melalaikan mereka dari mengingat Allah.

Sungguh ini adalah sebuah bentuk kesalahpahaman. Pada dasarnya, rezeki meskipun telah diatur, kita tetap diharuskan menjemputnya dengan bekerja. Jika kita melihat buah yang sudah matang bertengger di pohon sedang kita dalam kondisi lapar. Apakah kita hanya diam saja sambil menunggu buah itu jatuh tanpa tahu kapan waktunya? Ataukah kita panjat pohon itu kemudian memetiknya? Tentu kita akan memilih untuk memetik dan mengambilnya. Begitulah hakikat dari rezeki yang Allah berikan. Allah ingin kita berusaha dan bekerja untuk menjemput keluasan rezeki dan anugerah-Nya.

Dalam Al-Quran Surah an-Naba ayat 11, Allah Swt. berfirman.

وَجَعَلۡنَا ٱلنَّهَارَ مَعَاشٗا

Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan kehidupan (bekerja)” (QS. Naba : 11).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa siang dijadikan terang benderang agar manusia dapat melakukan aktivitas dalam upaya mencari penghidupan dengan bekerja, berniaga, dan melakukan urusan lainnya. Ayat ini juga merupakan bukti jika bekerja memang suatu hal yang Allah anjurkan. Tidak hanya itu, bekerja dan mencari nafkah juga merupakan amaliah para nabi dan rasul. Nabi sendiri pernah bersabda.

مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيّاً إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ

“Tidaklah Allah mengutus para nabi kecuali mereka adalah penggembala domba”. (H.R. Bukhari).

Faktanya, Nabi sendiri ketika kecil pernah menggembala domba milik penduduk Makkah. Ketika remaja, beliau pergi ke Syam bersama pamannya, Ali bin Abi Talib untuk berdagang. Nabi Musa a.s juga menggembala kambing, Nabi Daud a.s pun bekerja sebagai pandai besi. Demikian halnya yang dilakukan para sahabat. Abu Bakar As-Siddiq ketika menjabat sebagai khalifah. Beliau mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk bekerja dan mencari nafkah. Beliau sendiri pergi ke pasar untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya. Begitu pula halnya dengan babul ‘ilmi, Ali bin Abi Talib. Khalifah keempat ini bekerja sebagai pembawa air untuk penduduk Madinah dengan upah buah kurma. Dengan modal inilah beliau menikahi Fatimah, putri Rasulullah Saw.

Para hadirin rahimakumullah

Setidaknya cerita tersebut cukup menjadi bukti bahwa insan terbaik mulai dari para nabi dan rasul hingga para sahabat pun bekerja dan berusaha mencari rezeki. Mengapa kita malah berpikir sebaliknya?. Hal inilah yang dikomentari oleh Imam Muhasibi, Mahaguru para sufi (w. 781-857 M) dalam kitabnya yang berjudul “Al-Makasib”. Baginya, seorang tak cukup pasrah saja dengan rezeki yang telah Allat atur. Namun, perlu bekerja meraih apa yang telah Allah jamin kepadanya.

Melalui pendekatan fikih, tasawuf, dan psikologis, beliau menuturkan bahwa bekerja adalah hal yang wajib dilakukan. Namun, bukan hanya sekedar bekerja mencari upah dan kekayaan tetapi bagaimana bekerja itu dapat bernilai ibadah dan menuai pahala. Hal ini perlu dilakukan lantaran inilah yang membedakan mana orang mukmin dan yang bukan. Sebagaimana yang telah nabi, sahabat, dan orang-orang salih praktekkan.

Baca jugaBuku Uang Koin: Keping Cerita Kiai Hasyim Muzadi

Mereka mencari rezeki hanya demi mematuhi perintah Allah dan taat kepada-Nya. Bukan untuk memupuk kekayaan dan kejayaan tapi bagaimana untuk selalu asyik menyibukkan diri terhadap apa yang disukai oleh jiwa mereka di hadapan Allah.

Oleh karena itu, saat bekerja telah Allah wajibkan, mereka berusaha untuk mengamalkannya sepenuh hati, sambil menjaga untuk selalu mengingat dan tentram kepada-Nya. Mereka pun tak teledor dari kewajiban mereka karena mereka sadar akan posisi mereka sebagai hamba dan terus meyakini bahwa Allah telah menjamin rezeki mereka. Ketika Allah menguji dan memberi cobaan kepada mereka, bukannya putus asa tapi malah semakin membuat mereka dekat kepada-Nya. Inilah gambaran orang mukmin nan saleh ketika bekerja mencari nafkah.

Berbeda dengan realita yang terjadi di zaman sekarang yang bekerja hanya demi meraih kekayaan, pangkat, dan jabatan. Walaupun merupakan tabiat alami manusia yang tak bisa dipisahkan, tapi justru perlu diperhatikan. Dikarenakan hati dan jiwa yang tak dipenuhi keyakinan dan keimanan, kerapkali membuat manusia gelisah, galau, dan putus harapan. Kondisi psikologis ini tentu sangat memprihatinkan. Bahkan tak jarang, mereka kemudian melanggar batasan yang telah Allah tentukan dengan mengerjakan segala bentuk keharaman, seperti praktik riba, mencuri, berjudi, dan korupsi.

Krisis tersebut telah terjadi pada hari ini. Akibat tak menjadikan nabi, sahabat, dan orang saleh sebagai teladan. Ketika Al-Qur’an dan Sunah telah dilupakan maka disitulah kita akan dijauhkan, dengan tenggelam dalam lautan kemaksiatan. Nau’dzu billah

Para hadirin sekalian

Dari beberapa untaian kalimat yang al-faqir sampaikan. Setidaknya ada kesimpulan yang dapat kita ambil dan terapkan. Bekerja merupakan hal yang harus kita lakukan karena merupakan wujud dari keimanan. Membangun akhlak dan keyakinan juga merupakan pondasi penting sebelum mencari rezeki yang telah Allah tetapkan. Dengan keduanya, kita dapat sadar bahwa mencari rezeki itu bukannya mencari kekayaan tetapi menjalani apa yang telah Allah perintahkan. Sehingga ketika kita menerima ujian dan cobaan, tak akan membuat kita putus harapan karena kita yakin bahwa itulah sebaik-baik yang telah Allah tetapkan.

Mungkin ini yang bisa al-faqir sampaikan. Kurang lebihnya mohon dimaafkan.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Editor: Tim Jurnalis