Buku Uang Koin: Keping Cerita Kiai Hasyim Muzadi

Resensi Buku

Judul               : Uang Koin: Keping Cerita Kiai Hasyim Muzadi

Pengarang       : Muhammad Ghozi Al Fatih

Penerbit           : Penerbit Buku Kompas

Tahun Terbit   : 2017

Buku ini disusun oleh seorang sekretaris pribadi sekaligus ajudan Abah Hasyim Muzadi selama menjadi ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 1999-2010. Pengalaman pribadi penulis selama mendampingi Abah Hasyim membuatnya mendapatkan hikmah dan pelajaran yang ingin dibagikan kepada semua orang. Oleh karena itu, buku ini hadir untuk menunjukkan lebih jauh sosok Abah Hasyim Muzadi yang humoris, sederhana, dan bersahaja.

Kisah-kisah dalam buku ini banyak menunjukkan sifat humoris Abah dalam menyikapi suatu peristiwa tertentu seperti cerita pengalaman Abah ketika berdakwah, tingkah laku sederhana dari masyarakat, atau beberapa interaksi beliau dengan kerabatnya. Dengan kisah-kisah humor yang dibagikan, tidak lantas menurunkan muruah Abah Hasyim sebagai seorang Kiai. Tidak jarang juga terselip pesan bermakna yang ada di dalamnya. Ketika berceramah pun Abah Hasyim memang kerap memakai ungkapan yang mudah dicerna siapapun dengan beragam diksi yang kaya perumpamaan tanpa meninggalkan unsur jenakanya. Begitulah cara Abah menjelaskan sesuatu yang sulit dengan sesuatu yang mudah dipahami agar penerimanya dapat lebih mengerti dan menerima.

“Seorang Kiai tidak merasa khawatir dianggap kurang alim kalau tidak menyebutkan dalil. Apalagi kalau orang tanya ternyata tidak paham bahasa Arab. Justru sebaliknya, khatibun nas biqadri ‘uqulihim. Berbicaralah kepada orang sesuai dengan nalar mereka,” ujar Abah Hasyim.

Sebagai seorang yang mendampingi Abah Hasyim ketika berada di PBNU, tentu banyak penggalan cerita mengenai NU, perjalanan Abah dalam memimpin PBNU, dan bagaimana Abah Hasyim memaknai NU. Menurut Abah Hasyim Muzadi, nama Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) dipilih supaya jami’iyah (organisasi) yang didirikan oleh para Kiai ini punya patokan yang jelas, bahwa kebangkitan yang dimaksudkan adalah kebangkitan kaum muslimin yang dipelopori dan dipimpin oleh ulama, dipandu oleh ilmunya  ulama. Dengan demikian, organisasi NU didirikan dan diberi nama Nahdlatul Ulama dalam rangka mengamalkan, menyebarkan, dan melestarikan ilmunya para ulama, yang menjadi warasatul anbiya’ (pewaris para Nabi).

Selama berkhidmat untuk PBNU, tentu jadwal yang sangat padat tidak mungkin bisa dihindari. Penulis mengaku bahwa Abah memiliki fisik yang luar biasa dalam mengemban amanah tersebut. Bahkan, penulis justru yang terkadang kelelahan dan meminta izin karena tiada henti berkeliling dari satu kota ke kota lainnya atau berkeliling ke luar negeri. Kerja keras Abah tersebut tidak lain karena pengabdian Abah terhadap umat yang begitu besar.

“Bukan saya yang hebat. Tuhan yang memberikan ma’unah (pertolongan). Badan saya biasa saja, sama seperti orang lain. Bisa kuat karena Tuhan yang menguatkan. Mungkin karena dipakai keliling untuk ngurusi umat, ngurusi persoalan masyarakat, akhirnya Allah memberi kemampuan fisik lebih kepada saya.” – Abah Hasyim Muzadi.

Dalam beberapa kesempatan, dialog antara penulis dan Abah Hasyim terlihat sangat dekat. Penulis mampu menggambarkan dengan baik bahwa kedekatannya bukan sekadar bawahan dengan atasan. Namun, lebih dari itu yang menyiratkan hubungan emosional. Buku ini sangat ciamik dalam menggambarkan perjuangan beliau mengabdi pada umat, pemikiran beliau yang sangat bijak, dan kasih sayangnya pada keluarga. Pembaca akan merasa seolah-olah sedang mendengarkan langsung cerita dari Abah Hasyim Muzadi dan mendapatkan banyak hikmah sekaligus pengetahuan dalam beragama dengan lebih baik.

Editor: Ust. Ali Fitriana Rahmat, M.A.