Ketergantungan perih,
barangkali menikmati hidup
Adalah mengenyangkan air mata
Bernafas dengan keterpaksaan
Meraup segala batas makna ujian
Dan penglihatan yang indah
Adalah retina
Menutup masuknya cahaya
Pada gemerlap yang gulita
Seakan rahasia jeda saling berlomba
Mengenai definisi bahagia
Yang hilang maknanya
Perempuan itu memeluk kitabnya pelan,
hangat menarik senyum.
Hatinya khusyuk mengamati istana
Dan seok prajurit di depannya
Yang tak meredup
Meski dirongrong dominasi detak yang lelah
Dan kepalsuan hidup
Yang menerus beriak, jengah
Meski matahari berkisar redup
Ia asyik terjaga di tengah jendela
Berbinar atas altar kebaikan cahaya
Yang dibangun penuh peluh
Berkaca keramik maha indah
rawan pecah.
Dilihatnya langit
Dan kubah yang gagah itu, bergantian
Mengukur keseimbangan keduanya dengan jari
Membentuk tali pondasi
Dari setiap rantai sanad
Yang menghidupi
Hebat, pikirnya
Rusuh tafsirnya berisik
Kalimat kalimat hamdalah menari
Mensyukuri laku tindak kyai
Yang terlewat megah
Menjembatani gradasi pengharapan
Pada ilmu² yang baru sampai tulisan
Senyumnya semakin merekah
Menengok sekali lagi,
Pesantren ini
Yang ia banggakan
Menjadi sayyidati nya
Tempat melesatkan kerinduan abadi
Memanggang cinta
Di tiap tiap sunyi
Menjadi serupa firman Tuhan
Mengenai negerimu adalah negeri yang nyaman
Dan tuhanmu adalah yang paling penyayang
Dan tetap murah ampun
Menggurat seindahnya surga
Pada hati² yang menerus terjaga
Dalam ratap adzan terakhir yang didengarnya
Ia bergumam, lirih
Seumpamanya neraka
Membicarakan diri sendiri
Dan ketidakberuntungan nanti
Melaknati hari²
Maka wahai,
Izinkan Faqir memanggilmu, Hikam
Atau menyertai majlismu
Bersaksi,
Atas kemegahan ilmumu
Menolong adaku.