Ada sebuah kata yang suci dan mulia. Ia berpeluang membunuh orang yang memilikinya jika salah mengambil langkah. Namun, bisa juga menjadi suatu keindahan dan nikmat untuk orang yang mampu mengelolanya, Ia adalah rasa cinta. Realitanya banyak yang tersandung masalah hidup hanya karena cinta. Tak mampu menahan gejolak perasaan yang menjangkit. Hingga hancurlah seluruh masa depan dirinya, bahkan orang lain, dan banyak pihak di sekelilingnya.
Di sini ada dua peran yang bermain, yaitu Laki-Laki dan Perempuan. Lalu diantara keduanya siapa yang paling dirugikan? Apakah Laki-Laki dengan kekuatannya yang harus bertanggung jawab tapi dia telah mencoreng nama baik keluarganya? Atau Perempuan yang selalu dianggap lemah, tak berdaya, dan tidak memiliki kesempatan untuk melawan?
Bagaimana mungkin semua ini mampu terjadi jika di antara keduanya tidak saling menjaga? Mungkin kita bukanlah makhluk yang lahir pada zaman Rasul. Bukan ahli ibadah yang menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah hanya kepada Allah Swt. Juga ahli amal yang menghabiskan seluruh hartanya dijalan Allah Swt. Bukan pula malaikat yang telah lepas dari segala dosa. Kita hanyalah seorang manusia biasa dengan segala kekurangan dan kelebihan.
Padahal telah dicontohkan bagaimana menjaga kesucian cinta oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az-Zahra. Cinta memang sebuah fitrah yang Allah Swt anugerahkan kepada manusia. Rasa yang disuntikkan kepada jiwa manusia sehingga menimbulkan efek saling tertarik satu sama lain. Seperti disebutkan dalam Q.S. Az-Dzariyat Ayat 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).”
Ali dan Fatimah adalah salah satu panutan kita dalam bersikap ketika virus cinta telah menjangkit dalam diri. Bagaimana tidak? Mereka telah saling jatuh cinta sejak lama. Saat itu dikisahkan Fatimah membantu Ayahnya, Rasulullah saw. untuk mengobati luka akibat perang. Kepiawaiannya dalam merawat Ayahnya menimbulkan gejolak asmara pada diri Ali.
Namun, berbeda dengan kebanyakan orang zaman sekarang, Ali saat itu menutupi perasaan yang ia miliki. Ia malu walaupun telah memiliki kedekatan dengan Rasul yang notabenenya adalah Ayah dari Fatimah. Ia hanya menitipkan doa atas perasaan cinta yang timbul kala itu. Perasaan Ali tersebut diuji ketika mendengar kabar bahwa ada sahabat Rasul menawarkan diri untuk mempersunting Fatimah. Ia adalah Abu Bakar As-Shidiq dan Umar bin Khattab.
Baca juga: Cinta dalam Diam, Kisah Cinta Ali kepada Fatimah
Perasaan bahagia campur sedih menghantui diri Ali. Pikirnya, sahabat Rasul setara Abu Bakar dan Umar saja ditolak, bagaimana dengan dirinya yang tidak memiliki apa-apa. Jelasnya: “Wahai Abu Bakar, Anda telah membuat hatiku goyah. Padahal sebelumnya sangat tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah Swt, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku adalah karena aku tidak mempunyai apa-apa.”
Mendengar hal tersebut, Abu Bakar pun berkata, “Wahai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah Swt dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya hanyalah ibarat debu bertaburan belaka.”
Akhirnya dengan segala tekad yang ia miliki, Ali memberanikan diri menghadap Rasul untuk melamar Fatimah dan ternyata lamaran tersebut diterima Rasul dengan mas kawin baju besi yang biasa ia gunakan untuk berperang.
Di sisi lain, Fatimah ternyata juga sudah lama memendam cintanya kepada Ali. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya”, Ali pun bertanya mengapa ia tak mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya. Sambil tersenyum Fatimah Az-Zahra menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu”.
Begitulah Ali dan Fatimah bersikap, ketika cinta hadir untuk menyapa hidupnya. Mereka lebih memilih untuk menjaga rasa dalam doa, berikhtiar dengan memantaskan diri, dan beraksi ketika memang dirasa sudah mampu untuk merealisasikannya. Perasaan yang hadir kala itu tidak membuatnya menggebu-gebu untuk mengumbar. Tapi keduanya memilih dengan cara yang mulia.
Baca juga: Bukan Sebuah Cinta Jika Tak Berujung Pada Sang Pemilik Cinta
Allah Swt anugerahkan rasa cinta itu suci, kita yang membuatnya terkadang menjadi mati.
Atau mungkin bisa jadi hati jadi terkunci, oleh dia sang pujangga hati.
Hingga mampu melupakan Sang Illahi Rabbi.
Maka Fatimah dan Ali, adalah contoh kisah cinta yang diridhoi.
Semoga kita mampu memaknai, dan tentu meneladani.
Editor: Tim Jurnalis Al-Hikam