Tokoh Teladan dengan Kutipan-kutipan

Abah Hasyim Artikel

Depok,walisongoonline – Pembawaannya yang tenang, santun, dan penuh kewibawaan adalah salah satu ciri khas ulama kharismatik KH. Hasyim Muzadi. Kutipan singkat menyejukkan dan mendalam penuh kejenakaan yang sering disampaikan dalam ceramahnya menambah ke-khasan beliau.

Tidak berlebihan jika KH. Hasyim Muzadi disebut sebagai salah satu ulama yang pandai meramu kutipan singkat penuh makna di berbagai kesempatan. Tidak sedikit kutipan singkat beliau selalu menyentuh hal yang sederhana di sekitar kehidupan namun tidak terpikirkan oleh banyak orang.

Selain mendalam dengan keilmuan dan pengalaman, Kiai Hasyim juga ilmiah dalam pengamalan, hingga menjelma dalam cita-citanya yang luhur untuk berbagi, peduli, dan mengurus umat. Nampaknya, Kiai Hasyim pun tidak ingin karakter peduli terhadap umat hanya terhenti pada dirinya. Itu sebabnya pada tahun 2011 beliau mendirikan Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an, sebagai wadah untuk menempa ilmu kehidupan bagi para santri huffadz.

Barangkali karakter ilmiah dalam pengamalan dan amaliah dalam keilmuan inilah menyebabkan pesantren yang beliau dirikan bernama Al-Hikam, sebagai bentuk tafa’ulan (harapan) agar ilmu pengetahuan yang didapatkan para santri seimbang dengan pengamalan dalam kehidupan.

Sebagai wujud aktualisasi keilmuan, Kiai Hasyim mewajibkan program pengabdian masyarakat di akhir jenjang pendidikan kepada para santri selama satu tahun di berbagai tempat pelosok negeri. Program ini adalah langkah nyata untuk mengenalkan para santri sebuah miniatur kehidupan masyarakat yang belum benar-benar mereka alami serta sebagai bekal menuju kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.

Apa yang diprogramkan Kiai Hasyim merupakan senjata ampuh untuk menyadarkan para santri agar tidak perlu khawatir dengan capaian ilmu yang belum optimal, namun tidak harus jumawa dengan ilmu dan prestasi akademis yang gemilang. Karena ternyata keberadaan kami di tengah masyarakat saat pengabdian tidak lebih dari manarik dan mengambil manfaat. Semua keidealan teori yang pernah kami tempa selama di perkuliahan

sesekali terkadang bergeser dari keidealannya saat menjelma dalam tindakan. Karena memang untuk dapat saling berbagi manfaat di tengah masyarkat, tidak dibutuhkan tinggi rendahnya ilmu yang didapat. Semua ada porsi dan sesuai dengan bagiannya masing-masing untuk saling mengisi dan melengkapi.

Pengabdian masyarakat yang beliau programkan tidak hanya mengenalkan kami untuk belajar bermasyarakat, namun juga sebagai refleksi untuk memperbaiki diri. Berbagai tipikal masyarakat yang kami jumpai dan mungkin saja terkesan jujur dan ngawur, baik dan licik, bijak dan rusak, tulus dan berakal bulus, bukan sebagai objek untuk menilai di luar diri melainkan ke dalam diri. Barangkali inilah makna dawuh beliau “Jika ingin mengubah keadaan, maka ubahlah diri anda terlebih dahulu. Jadilah ilmuan yang berkarkater”.

Baca Juga: Mengenang K.H. Hasyim Muzadi Lewat Tawa

Selain belajar memperbaiki diri dan bermasyarakat, Kiai Hasyim juga mengajarkan kami agar menjadi pribadi yang solutif terhadap masalah pribadi maupun masyarakat. Seakan-akan beliau meyakinkan kami bahwa setiap masalah sudah pasti ada solusi yang menyertai. Karena Allah tidak hanya memberi kecemasan, namun juga harapan, tidak hanya memberi ujian, namun juga kelulusan. Hanya saja rahmat Allah berupa potensi akal yang telah dianugerahkan harus diasah, sebagai wujud amanah tanggung jawab untuk dioptimalkan agar solusi dapat ditemukan. Sebab Allah tidak hanya memberi janji, namun menuntut pemenuhan syarat sebagaimana kutipan beliau “Janji Allah bersyarat, dan rahmat Allah selalu minta tanggung jawab”.

Perjuangan yang diajarkan Kyiai Hasyim melalui pengabdian benar-benar menguji hati kami agar belajar ikhlas memberi, mengajar, dan peduli terhadap sesama. Apa yang dihadapi saat pengabdian adalah pengenalan bagaimana mengambil sikap yang tepat terhadap realita kehidupan dengan ilmu yang telah didapat. Sebab ilmu bisa saja membuat orang pintar, namun tidak menjamin orang berlaku benar, “Al’ilmu syaiun wamasuliyyatuhu syaiun akhar”.

Namun demikian, beliau terus mengingatkan bahwa bukan manusia yang harus kami tuntut untuk menghargai bakti, tetapi bagaimana memahami mereka yang belum banyak mengerti. Ini adalah kunci agar kami tidak mudah lunglai, kecewa, dan putus asa saat kami hanya mengandalkan amal dan sok ideal sebagaimana dawuh Imam Ibnu ‘Athaillah “Min ‘alamati al-‘itimadi ‘ala al-‘amal nuqshani al-raja’i ‘inda wujudi al-zalali”.

Akhirnya kami sadar bahwa tujuan pengabdian yang beliau inisiasi bukan untuk dihargai, namun membenahi diri. Bukan manusia yang dituju tapi Dia Yang Maha Mampu. Tugas kami hanya menyampaikan, bukan menentukan. Di titik ini kami semakin mengerti bahwa hanya karena-Nya seharusnya kami berkarya dan sudah sepatutnya hanya kepada-Nya jua kami bermuara. Meski
ikhlas terasa berat untuk ditindak, namun bukan berarti tidak dapat dibuat dalam sikap. Itulah mengapa pengabdian merupakan wadah yang tepat untuk belajar ikhlas seperti yang selalu beliau dawuhkan “Ikhlas itu tidak tampak dan tidak perlu ditampak-tampakkan, tetapi Allah akan menampakkan hasil dari keikhlasan itu”.

Oleh: Irfa’i STKQ Al-Hikam Depok